Saturday, May 12, 2012

Renungan Tentang Tobat Dalam Kisah Kunjarakarna pada Relief Candi Jago di Jawa Timur

Renungan Tentang Tobat Dalam Kisah Kunjarakarna pada Relief Candi Jago di Jawa Timur
Relief pada Candi Jago, Tumpang, Malang, Jawa Timur)
(Candi Jago, Tumpang - Malang)
Candi Jago ini ternyata terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk Tumpang. 
Hanya dipagari dengan pagar kawat sederhanya namun tertata apik.



Sepasang suami istri sedang memperbincangkan Kisah Kunjarakarna pada relief Candi Jago di Jawa Timur. Sebuah kisah yang diambil dari kitab sastra kuno gubahan para leluhur. 
Mereka mencoba memaknainya dengan buku-buku Bapak Anand Krishna. 
Mereka mohon dimaafkan apabila terdapat pemaknaan yang tidak seharusnya.
KUNJARAKARNA DHARMAKATHAKA
Sang Istri: Kunjarakarna, seorang Raksasa ingin menjadi seorang manusia di kehidupan berikutnya. Dia berupaya menemui Wairocana untuk mendapatkan restunya. Oleh Wairocana dia diminta menuju ke tempat Dewa Yama, Sang Dewa Neraka. 

Kunjarakarna melihat  gunung-gunung membara berpintu besi. Juga menyaksikan pohon-pohon berdahan pedang dan burung-burung bersayap belati. Nampak Panglima Kingkaras menghajar roh-roh manusia berdosa. Kunjarakarna kemudian mendapat penjelasan tentang neraka oleh Dewa Yama. Kunjarakarna bertanya tentang ketel besar yang sedang dipersiapkan untuk menghukum roh manusia. Dewa Yama menyampaikan bahwa ketel tersebut diperuntukkan bagi Bidadara Purnawijaya, yang dalam waktu dekat akan meninggal dunia. Purnawijaya akan berada dalam ketel panas tersebut selama 100.000 tahun lamanya. 

Kunjarakarna kaget karena Purnawijaya adalah salah seorang sahabatnya yang tinggal di surga di mana dia ingin hidup seperti Purnawijaya yang nampak hidup berbahagia. Setelah selesai menimba pelajaran dari Dewa Yama, Kunjarakarna tidak kembali ke Wairocana, tetapi menemui Purnawijaya…… Purnawijaya kaget dan berada dalam depresi nyata. Mereka berdua kemudian menuju tempat Wairocana. Kunjarakarna menghadap Wairocana dan mendapatkan pelajaran tentang kesempurnaan hidup yang sangat berharga. 

Setelah Kunjarakarna mohon diri, kemudian Purnawijaya menghadap Wairocana dengan segenap penyesalan atas tindakan-tindakan yang pernah dilakukannya. Setelah mendapatkan pelajaran dari Wairocana, Purnawijaya semakin terbuka dan bertekad tidak akan mengulangi kesalahannya. Permohonan Purnawijaya agar tidak mendapatkan siksa neraka tidak dapat dipenuhi. Dia akan mengalami siksaan neraka dalam mimpinya selama sepuluh hari. Setelah pulang dari Wairocana dia menemui istrinya agar sewaktu dia meninggal selama sepuluh hari jasadnya dijaga. 

Selesai sudah sepuluh hari meninggalnya Purnawijaya dan sang istri merasa berbahagia, karena mengira mereka akan hidup seperti sedia kala. Purnawijaya kemudian berkata bahwa dia bersama Kunjarakarna akan pergi ke Gunung Semeru, kemudian sang istri pun mengikutinya……. Konon ketel mendidih tersebut hancur lebur sewaktu roh Purnawijaya dilemparkan ke dalamnya. Bahkan muncul sebatang pohon surga dengan kolam teratai yang amat indahnya. Para pengawal Neraka segera lapor kepada Dewa Yama. Purnawijaya pun menceritakan pertemuannya dengan Wairocana. Semua dewa pun datang bersamaan menanyakan apa yang terjadi kepada Dewa Yama. Para dewa kemudian menghadap Wairocana dan mendapat penjelasan tentang Kunjarakarna dan Purnawijaya. Para dewa kemudian kembali ke alam surga…….

Sang Suami: Atas “blessing” Wairocana, siksaan yang seharusnya dialami Purnawijaya selama 100.000 tahun hanya dialami selama 10 hari dalam mimpinya. Dalam mimpi pikiran bergerak demikian cepatnya. Peristiwa yang makan waktu lama di alam fisik bisa saja dialami dalam alam mimpi sebentar saja. Waktu adalah relatif……Kecepatan cahaya adalah sekitar 300.000 km per detik. 

Jika kita bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka benda-benda yang bergerak nampak bergerak perlahan.  Ketika kecepatan gerakan kita sama dengan kecepatan cahaya maka benda yang bergerak akan nampak diam. Kecepatan waktu diasumsikan mempunyai kecepatan yang sama dengan kecepatan cahaya. Berdasarkan hal tersebut, maka jika kita bergerak melebihi kecepatan cahaya maka kita kita bisa pergi ke masa depan atau masa lalu. Atas dasar itulah film-film fiksi masa lalu dan masa depan dibuat…….. Dalam kitab Vasishta Yoga ada kisah tentang Ratu Leela. 

Dewi Saraswati menjelaskan kepada Ratu Leela ada 3 jenis “akash”, yaitu “bhutakash”- tahap elemen seperti yang terjadi di dunia fisik, “chitakash”- tahap mental pikiran yang terjadi di alam pikiran, dan “chidakash”- tahap kesadaran yang ada di dalam alam kesadaran. Dewi Saraswati menjelaskan bahwa alam chidakash adalah konsep pemahaman pikiran saja. Sebagai ilustrasi Dewi Saraswati menyampaikan bahwa delapan hari di Chidakash adalah 40.000 tahun di dunia. Memori bukanlah suatu unsur, memori adalah nama lain dari pemahaman pikiran, sankalpa dan merupakan salah satu akash jalan pikiran. Memori hanyalah sebuah refleksi, sankalpa. Seandainya memori hanyalah sebuah sankalpa atau akash, maka alam semesta ini pastilah sankalpa juga……. Dalam buku “Shambala” juga diberikan ilustrasi bahwa  1 menit di Shambala sekitar 5 tahun di bumi. Sehingga seseorang yang berada di Shambala bisa melihat masa lalu sampai masa depan…….. Atas “blessing” Sang Wairocana, seseorang yang menderita karma siksaan dalam mimpi sudah setara dengan karmanya yang seharusnya lama dialami di dunia.

Sang Istri: Kecepatan cahaya adalah sekitar 300.000 km per detik. Kecepatan suara yang terdengar telinga sekitar 344 m/detik. Kecepatan lari manusia sangat lambat dibandingkan dengan kecepatan suara yang keluar dari mulut manusia. Kecepatan suara manusia tidak dapat melawan kecepatan daya lihat dari mata manusia. Daya lihat manusia merupakan daya tangkap dari kecepatan cahaya. Kecepatan pikiran manusia jauh melampau kecepatan cahaya. Dimana daya pikir manusia dapat menampakkan berbagai gambaran dalam sekejap. Walaupun kecepatan pikiran sudah sedemikian cepatnya, ternyata masih ada yang jauh melampau kecepatan pikiran manusia yaitu kesadaran sejati. Sebelum segala gambaran pikiran timbul, kesadaran sejati telah ada jauh sebelumnya. Sehingga kesadaran sejati tidak dapat diperdaya oleh gambaran dan kemelekatan pikiran yang timbul. Dalam mimpi kita berada dalam alam pikiran, maka waktu berjalan begitu cepatnya…..

Sang Suami: Purnawijaya belum sadar bahwa sebuah kesalahan besar dari tindakannya di dunia akan berakibat menderita di dunia selama banyak kehidupan yang digambarkan berada dalam keadaan ketel mendidih selama 300.000 tahun. Sebuah kebiasaan yang sudah menjadi pola pikiran bawah sadar, mengakibatkan synap saraf yang hampir permanen sehingga sulit mengubahnya dan terbawa dalam kelahiran berikutnya. Tanpa perjuangan untuk mengubah diri, pola tersebut akan terbawa dalam banyak kehidupannya. Dalam Srimad Bhagavatam digambarkan seseorang yang suka selingkuh akan dimasukkan dalam air kencing wanita yang mendidih. Dapat dimaknai dia harus lahir dari banyak rahim wanita sampai lenyap kebiasaan jeleknya. Dan selama itu dia akan mengalami suka dan duka tak berkesudahan akibat tindakannya. Hanya tobat, tidak mengulangi tindakan lama yang dapat mempercepat proses sebab-akibatnya dan itulah yang dijalani oleh Purnawijaya……

Sang Istri: Kunjarakarna mendapat pelajaran tentang hukum karma dan diteruskan kepada Purnawijaya. Itulah yang mendorong mereka untuk melakukan tobat, tidak mengulangi kesalahan mereka……. Ada yang lahir dalam keluarga kaya. Ada yang lahir dalam keluarga miskin. Ada yang lahir sehat, ada yang cacat. Apa sebabnya? Apabila kita percaya bahwa Tuhan Adalah Maha Adil, bahwa Tuhan Adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, lantas kenapa ada yang berbuat baik, tetapi menderita terus? Lantas ada pula yang berbuat jahat, tetapi berjaya terus? Ada yang mengatakan, “Tuhan sedang menguji mereka”. Ujian macam apa? Apabila betul ujian, maka sangat tidak adil. Ada yang duji, ada yang tidak diuji. Kita harus meninggalkan konsep-konsep semu, dan berani menerima sesuatu yang baru. Apabila kita belum berani menerima sesuatu yang baru, dan masih nyaman dengan dogma-dogma lama, ilmu yoga atau penyatuan tidak cocok untuk kita. Hukum Karma berarti hukum sebab-akibat. Setiap sebab akan berakibat. Kehidupan kita sekarang ini merupakan akibat dari kehidupan yang lalu. Perilaku kita dalam hidup ini akan menentukan kehidupan kita berikutnya……..

Sang Suami: Tobah atau Taubah berarti kembali kepada Diri Sendiri, itulah arti kata “tobah”, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Yunani menjadi metanoia. “Kembali kepada Diri Sendiri” berarti secara sadar mengembalikan segala persoalan kepada diri sendiri; bertanggung jawab atas segala perbuatan, ucapan, serta pikiran kita. Tobah berarti “bertobat”, dan “bertobat” bukan sekedar penyesalan atas suatu tindakan yang salah, tetapi juga upaya nyata untuk membenahi diri, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah terjadi. Tidak perlu mencari pembenaran, tidak usah mencari kambing hitam.  Menghadapi musibah dan kesulitan seberat apapun seorang Sufi tak akan mengeluh: “Tuhan, di mana Kau?” Ia tidak arogan, “Oh, Tuhan sedang menguji saya.” Ia tidak gampang menyerah, ”Demikianlah takdir saya,” Ia akan selalu kembali pada diri sendiri, “Apa yang terjadi, karena perbuatanku sendiri. Aku pula yang harus memperbaikinya.” Demikian diuraikan dalam buku “Haqq Moujud”.

Sang Istri: Dalam buku “Kidung Agung” disampaikan bahwa taubah juga berarti membelok. Nafsu tidak pernah mati, maka harus dikendalikan; mesti ditarik dari dunia dan keduniawian, kemudian diarahkan ke Allah dan keilahian. Proses pengarahan nafsu kepada Tuhan dan ketuhanan itulah spiritualitas. Itulah meditasi. Dalam bahasa-bahasa Timur Tengah itu disebut taubah, atau membelok, kembali. Maksudnya: kembali pada diri sendiri, karena itulah kerajaan-Nya; di sanalah Ia bersemayam…….

Sang Suami: Kunjarakarna bersama Purnawijaya dengan istrinya sadar dan melakukan perjalanan ke Gunung Semeru. Perjalanan ke Gunung Semeru adalah perjalanan menaikkan kesadaran, menuju puncak kesadaran. Setelah sadar Kunjarakarna bersama Purnawijaya dan istrinya meninggalkan pola kebiasaan lama dan menempuh hidup baru dengan penuh kesadaran mereka. Mereka akan mengendalikan diri terhadap dorongan kebiasaan pola lama mereka. Mereka menjadikan pengendalian diri sebagai tujuan hidup mereka………. Bersungguh-sungguhlah untuk mengupayakan pengendalian diri, kemenangan akan selalu ada di genggaman, dan kesempurnaan dalam hidup ini akan dapat diraih. Jadikanlah pengendalian diri sebagai kebiasaan, maka perangkap dunia yang ilusif ini tidak akan membelenggu kita. Dunia yang saat ini ada, dan sesaat kemudian tidak ada, ini tidak akan memerangkap kita. Pengendalian diri adalah kekuatan. Bila berhasil mengendalikan diri, kita akan dapat mengendalikan kekerasan dan ketakberesan di luar diri. Orang yang berhasil mengendalikan dirinya tak akan terkendali oleh orang lain. Ia tidak bisa dibeli, tidak bisa digoda, tidak bisa dirayu. Ia memiliki kepercayaan diri yang luar biasa. Jadilah orang itu. Demikian disampaikan buku “Be The Change”.

Sang Istri: Ada petuah dari buku “Be the Change” yang perlu kita perhatikan…… Dari zaman ke zaman, ajaran-ajaran luhur pun perlu dimaknai kembali, dikonstektualkan. Kebiasaan-kebiasaan lama mesti diuji terus apakah masih relevan, masih sesuai dengan perkembangan zaman. Ah, tapi kita malas. Kita tidak mau berijtihad, berupaya, lalu menerima saja apa yang disuapkan kepada kita. Padahal kitab-kitab suci pun melarang kita mengikuti seseorang secara membabibuta, walaupun orang itu rahib atau mengaku sebagai agamawan atau rohaniwan……..

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Mengulik 
Lima Kisah Klasik di Relief Candi Jago 
 
Candi Jago. TEMPO/Abdi Purnomo
Suasana Candi Jago di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, yang biasanya hening menjadi semarak dari siang hingga sore pada Senin, 9 April 2012,


Penyebabnya adalah tarian yang disajikan sejumlah seniman dari Malang, Solo, Klaten, Yogyakarta, dan Bali. Mereka menarikan cerita klasik Arjunawiwaha dan Kunjarakarna untuk menandai perhelatan Tahun Kunjungan Candi Jago 2012 yang digagas oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang.


Cerita wayang Arjunawiwaha aslinya berbentuk kakawin (tembang atau semacam pantun) karya Empu Kanwa yang hidup pada masa Raja Airlangga (1019-1042). Kecuali para penari Kunjarakarna, semua penari di kisah Arjunawiwaha tidak mengenakan topeng Malang.


Tarian kisah Kunjarakarna memang ditarikan dengan gaya topeng malangan, sedangkan tarian cerita Arjunawiwaha lebih banyak menampilkan unsur gerak dan mantra tanpa topeng. "Ditambah sentuhan gaya kontemporer,” kata Suryadi, juru kunci Candi Jago yang merangkap Koordinator Wilayah Malang Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, kepada Tempo.


Menurut Suryadi, tarian Arjunawiwaha dan Kunjarakarna bersumber dari lima cerita klasik yang tertera pada relief-relief di tiga lapis dinding Candi Jago. Ia menjelaskan, pada kaki candi terdapat relief yang mengisahkan cerita Kunjarakarna dan Pancatantra. Cerita Kunjarakarna bertutur tentang seorang tokoh raksasa bernama Kunjarakarna yang taat beribadah menyembah sang Buddha.


Suatu saat, Kunjarakarna ditunjukkan para dewa keadaan mengerikan di neraka, tempat bagi orang-orang yang berdosa dan tidak taat pada ajaran Buddha. Kunjarakarna memiliki teman bernama Purnawijaya yang telah masuk neraka. Kunjarakarna meminta tolong pada para dewa untuk menyelamatkan Purnawijaya. Para dewa mengabulkan permintaan Kunjarakarna berkat kebaikan hati dan ketaatan Kunjarakarna pada sang Buddha.


Cerita Pancatantra ingin menguatkan kesan keutamaan sikap kebaikan seperti cerita Kunjarakarna. Namun, Pancatantra merupakan cerita klasik fabel (bertema binatang), mengisahkan seekor kerbau menolong seekor buaya yang tertimpa pohon tumbang. Namun, setelah ditolong, buaya malah ingin memangsa kerbau. Sekuat tenaga sang kerbau menanduk buaya hingga ke daratan. Lalu, penduduk di sekitarnya secara beramai-ramai datang dan membunuh buaya yang tak tahu berterima kasih pada si kerbau.


Relief dinding tingkat kedua mengisahkan cerita Parthayajna dan Arjunawiwaha. Kisah ini bersambungan, yaitu mengisahkan tokoh-tokoh Pandawa yang diusir dari istana dan dibuang ke hutan selama 12 tahun akibat kalah bermain dadu melawan Kurawa.


Salah satu tokoh Pandawa, Arjuna, melakukan tapa brata. Pada saat bertapa Arjuna mendapat senjata sakti dari Dewa Siwa. Dengan senjata ini Pandawa berhasil memenangkan Perang Bharatayudha melawan Kurawa.


Relief dinding tingkat ketiga Candi Jago mengisahkan cerita Kresnayana dengan tokoh Kresna pada masa muda. Ia juga tokoh utama selain Pandawa dalam cerita Mahabharata dari India. Kresna muda selalu nakal. Dan, karena kenakalannya, ia dikejar-kejar oleh raksasa bernama Kalayawana. Kresna lalu berlindung kepada pendeta sakti Resi Mucukunda.


Kalayawana terus memburu Kresna. Karena tak tahu sopan santun di hadapan Resi Mucukunda, akhirnya Kalayawana mati terbakar api yang keluar dari jari Sang Resi.


“Kalau berdasarkan relief-relief yang ada, memang sulit memahami semua cerita cerita klasik di tiga lapis dinding Candi Jago. Namun, dengan imajinasi dan kerja keras, alur cerita di masing-masing dinding bisa lebih dipahami. Setidaknya pengunjung bisa memahami moral ceritanya,” kata pria 52 tahun itu.



Candi Jago - Malang, Jawa Timur
Asal-usul kata Candi Jago berasal dari "Jajaghu", yang artinya adalah 'keagungan',
merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.didirikan pada masa Kerajaan Singosari di abad ke-13.Berlokasi di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, atau sekitar 22 km dari Kota Malang.
Menurut cerita bagian atap dari Candi ini pernah tersambar petir,ini membuat candi ini kelihatan unik. Di candi ini anda dapat menemui Relief-relief Kunjarakarna dan Pancatantra . Dengan keseluruhan bangunan candi ini tersusun atas bahan batu andesit. Pada candi inilah Adityawarman kemudian menempatkan Arca Manjusri seperti yang disebut pada Prasasti Manjusri. Tetapi Sekarang Arca ini tersimpan di Museum Nasional dengan nomor Arsitektur Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi Jago nampak sudah tidak utuh lagi; yang tertinggal pada Candi Jago hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. 
Badan candi disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda.


Pada dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana, Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana).


Pada sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. 

Sedangkan pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. 


Ia terjatuh karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.


Pada sudut timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk mempelajari ajaran Buddha.Salah satu patung yang awalnya terdapat pada Candi Jago, yang merupakan perlambangan Dewi Bhrkuti




Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia.Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca.


Hiasan pada badan Candi Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana.Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.



Candi ini mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara untuk menghormati ayahandanya, raja Wisnuwardhana, yang mangkat pada tahun 1268. Dan kemudian Adityawarman mendirikan candi tambahan dan menempatkan Arca Manjusri.  


sumber: dari berbagai sumber


SIKSA NERAKA KUNJARAKARNA

Ada delapan tingkatan neraka yang terberat. Itu menurut kitab Jawa Kuno Kunjarakarna. Konon, seringan apapun, yang namanya neraka tetap saja neraka. Ikuti ingar-bingar siksa neraka versi kitab itu, seperti dipahatkan pada dinding beberapa candi.


       Tubuh lelaki itu roboh bersimbah darah. Seorang kingkara atau algojo beringas sekali terus-menerus menghajarnya. Tombak di tangan kiri, gada di tangan kanan, dijungkirkannya tubuh lelaki itu, sebelum dibanting terkapar sampai berbusa mulutnya, dan terjulur lidahnya. Lidah itulah memang pangkal dosa manusia di dunia. Maka pantas kalau kemudian dijepit dan ditusuk dengan lembing bercabang tiga. Kejam dan sadis memang! Tapi apa pula ini? Ini adalah adegan siksaan neraka bagi umat bernama manusia yang gemar menggunjing, memfitnah tatkala hidup di dunia. Di sebelahnya dalam format lebih kecil, ada lagi adegan lima manusia digoreng dalam periuk berbentuk sapi. Hangus tubuh mereka di tengah jerit kesakitan, karena mengelupas seluruh kulitnya dan dagingnya meleleh. Adegan apa ini? Itu hukuman bagi manusia pencabut nyawa alias pembunuh sesama ketika di dunia dulu. Lantas, apa balasan bagi perampok, pemerkosa, pezinah, atau koruptor dan manipulator? Setelah mati, jiwa mereka akan menerima beribu-ribu lipat siksaan, dari yang teringan dipukul atau ditusuk, sampai yang terberat tak terbatas, direbus dalam kawah berapi.


Hidup itu Penderitaan
       Adegan tadi hanyalah contoh kecil dari belasan panel relief siksa neraka yang terpahat di tembok Candi Jago, 18 km utara Malang, Jawa Timur. Kunjarakarna Dharmakatana, begitu rangkaian relief itu dinamai, karena memang dicukil dari kitab kuno Majapahit berbentuk kakawin (puisi) bernama Kunjarakarna. Relief lakon Kunjarakarna, ditatah seniman Jawa abad XIV, tepatnya di bagian kaki kuil agung candi tak ternama itu. Kata Kunjarakarna Dharmakatana sendiri banyak orang mengetahui artinya, yaitu ajaran suci bagi pendosa berat bernama Kunjarakarna. Namun, barangkali hanya beberapa gelintir orang saja yang tahu, betapa dalam makna yang tersirat dalam kakawin ataupun pada pahatan relief batu tersebut. Sebetulnya, lakon religius ini mengandung tema ajaran kebatinan dalam usaha manusia mencapai kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. Ahli Jawa Kuno kenamaan Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan, sempat menyinggung dan menilai kakawin ini sebagai karya sastra klasik yang lain daripada yang lain, namun sarat akan ajaran moral-didaktis yang sangat penting guna memahami sistem kepercayaan masyarakat pada masa lalu (Zoetmulder, 1983).


       Hidup adalah samsara (penderitaan), begitu ajaran kebatinan lakon aneh itu diawali. Samsara yang ganas mengancam manusia dari sudut "enam musuh" ialah hawa nafsu. Musuh-musuh itu bisa dikalahkan manakala setiap noda dilenyapkan dengan manawisesa. Tapi sungguh berat mencapai pengetahuan mulia itu. Bilamana seseorang telah memutuskan tenggelam di dalamnya dengan menjadi biku, maka hendaknya jangan membedakan ketiga jalan aliran pemuja Buddha, Siwa, atau jalan para Resi. Andaikan para biku tadi telah berupaya mencapai kelepasan namun tak berhasil, ini disebabkan setiap aliran masih menganggap dewanya paling unggul dari dewa lainnya.


       Pada sisa relief yang tertimpa lumut dan jamur itu, lakon siksa neraka ini masih jelas menampilkan pesan betapa hukum sebab akibat berlaku. Manusia di bumi memang bisa berbuat sesukanya. Namun kelak di akhirat akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ngunduh wohing pakarti (suka tidak suka, menerima risiko atas segala perbuatannya), sebuah konsep sederhana yang sudah lama ada, bahkan jadi sistem tersendiri sebagai kendali perilaku manusia leluhur kala lampau, menunjukkan hal itu. Menurut Kitab Kunjarakarna, ada 20 kelompok kejahatan yang menyebabkan sukma manusia masuk neraka dan disiksa. Kelompok kejahatan yang disebut anidya paradrwya misalnya, dilakukan oleh mereka semasa di dunia yang selalu dipenuhi nafsu untuk memiliki harta yang bukan miliknya. Mereka adalah pencuri, perampok termasuk koruptor dan manipulator. Lumayan berat hukuman buat kelompok manusia macam ini. Katanya, tubuh itu nanti akan dipotong-potong dengan gergaji besi panas membara. Jiwa pendosa itu banyak yang tak sadar memohon ampun dan berteriak kesakitan menyebut bapak-ibunya. Tapi raksasa penjemput maut itu sepertinya buta dan tuli. Malah potongan tubuh-tubuh itu disatukan kembali sebelum digergaji lagi. Begitu seterusnya, setimpal dengan dosa hasil perbuatannya dulu.


       Ada lagi kelompok kejahatan bernama anidra parawadha atau paradara, yaitu dilakoni orang yang jiwanya dikuasai nafsu seksual, dalam artian gemar mengganggu, mengajak serong dara, istri atau suami orang lain. Kelak sesudah mati, katanya, akan dihimpit bukit berkepala hantu dan ditusuk tombak api, serta digulung lempengan tembaga panas.


Siksaan 1,8 Miliar Tahun
       Ini memang kisah neraka, dari kitab kuno aneh dan langka. Kematian itu sendiri, menurut Kitab Kunjarakarna, bukan tidur panjang yang tak terbangunkan sebagaimana didefinisikan oleh berbagai sastra picisan modern. Kematian hanyalah suatu perubahan keadaan, dari dunia ke alam baka. Di alam ini roh mendapat balasan sesuai perbuatannya. Yang baik di surga, yang jahat masuk neraka. Menurut kakawin Kunjarakarna neraka itu bertingkat-tingkat, namun yang terberat ada delapan buah. Dari delapan neraka besar tersebut, paling ringan adalah neraka yang disebut tapana. Konon di sini para pendosa beramai-ramai disekap dala ruang tertutup berbau amis bercampur sengak oleh uap yang menyembur dari ketel panas. Setingkat di atas neraka tapana, ada neraka yang disebut raurawa, artinya tangis dan jeritan panjang. Betul memang, ada uraian mengerikan. Siksa neraka di sini khusus buat manusia pengobral janji, berkata kasar atau besar mulut dan terutama pembohong. Mereka, jiwa pendosa itu, dicor mulutnya dengan timah membara dan dituangi lelehan besi panas. Suara lolongan panjang mereka mirip setan kebingungan.


        Yang terberat adalah neraka awici. Katanya, neraka ini diperuntukkan buat manusia yang berani kepada orang tua, membunuh guru dan menghina agama. Mereka akan diceburkan berbarengan ke dalam kawah api, mereka pun merintih, menangis, mohon selaksa ampun dan kesempatan sekali saja untuk bertobat. Sementara panas membakar mereka, seekor burung raksasa menyambar 100 pendosa dan membawanya ke puncak pohon besi. Di sini tubuh-tubuh hangus kehitaman itu dicampakkan ke atas permadani berbulu belati. Belum cukup, lalu satu demi satu raksasa neraka mengangkat tubuh mereka untuk digantung kakinya di pucuk bambu betung, sementara di bawahnya api menyala menjilati badannya. Konon di neraka awici ini, pendosa akan disiksa selama 100.000 tahun ukuran neraka. Padahal satu harinya neraka, katanya sama dengan 50 tahun di bumi. Jadi total neraka awici akan menyiksa tubuh pendosa selama 1,8 miliar tahun menurut perhitungan bumi. Lumayan juga, dibandingkan dengan siksa abadi yang tak tahu kapan berhentinya.


       Adegan siksa neraka, di samping diabadikan di dinding Candi Jago, juga dipahat apik di Candi Borobudur dari sumber yang berbeda. Rangkaian relief yang masyhur disebut Karmawibhangga itu, memang berpangkal darihukum karma manusia. Sayang sekali, relief tersebut tak bisa dinikmati pengunjung, karena terpahat di kaki candi yang tertutup timbunan tanah, yang disebut kamadhatu. Adegan siksa neraka di panel Candi Borobudur, sebetulnya jelas sekali melukiskan hukum sebab-akibat manusia, seperti kuda harus diikuti keretanya. Ada manusia digodok, ada juga yang diikat tangannya dan dihajar tiga raksasa, digada, dan dipedang. Katanya, ini hukuman buat mereka yang dulu suka membunuh binatang. Yang menarik perhatian dari relief Karmawibhangga seri O no. 89, penampilan seorang perempuan duduk melenggut di bawah pohon keluwih dengan ekspresi meratap, sementara di sampingnya seorang raksasa berambut gimbal sedang mengayunkan pedang panjang yang pasti akan memecahkan kepala wanita pendosa itu. Kasihan sekali perempuan itu, tapi ini hukuman buat manusia penyeleweng dan pezinah.
  
Jagad Arwah
       Kitab kuno Kunjarakarna memang lain dari yang lain. Neraka yang pengarangnya sendiri jelas belum pernah menengoknya, dijadikan fokus media untuk menhajar sekaligus membangun moral manusia. Seperti apa neraka itu sebenarnya, menurut kitab itu? Dalam lakon Kunjarakarna berbentuk prosa, lengkap sekali dilukiskan neraka sebagai tempat setan-setan gentayangan mengerikan, gelap penuh penderitaan yang tiada bandingannya. Neraka yang disebut petrabhawana (jagad arwah), katanya mirip lautan manusia yang dikelilingi tanggul api membara. Di sini ribuan roh jahat disiksa dengan berbagai senjata maut, dari rantai besi sampai gada api sebesar pohon pinang. Ada yang diborgol tangan dan kakinya, ada yang disumbat timah panas mulutnya, ada yang cuma disayat pisau kulitnya. Tapi ada juga yang dijepit catut lehernya. Semua tergantung besar-kecilnya dosa yang diperbuatnya


      Sementara ratap tangis memilukan bagai kumbang kesakitan, datanglah sisantama, burung raksasa berkepala setan yang galak menyeruak, melumat ribuan pendosa sekaligus hancur luluh dengan cakarnya. Tapi para pendosa itu tak mati, meski secara fisik sudah. Malah katanya, dengan tubuh lemah sempoyongan banyak di antara mereka malang-melintang berlari saling mendahului, saling berpegang pundak, ada yang terjatuh dan terinjak-injak. Adalah serigala berkepala hantu, tiba-tiba muncul mengejar mereka. Yang tertangkap dikoyak-koyak tubuhnya, hingga menyembul isi perutnya. Sementara dari arah berbeda, muncul raksasa  berkepala dan bertangan api, terus memburu. Yang tertangkap bakal hangus, meringis mulutnya, melotot matanya, menangis dan mengaduh, menggelepar kesakitan karena napas tersengal mendekati ajal. Tapi sekali lagi, mereka tak mati. Begitulah gambaran keadaan neraka dalam kitab Kunjarakarna ciptaan pujangga tak dikenal empat belas abad silam.


       Lepas dari pakem cerita aslinya, pada tahun 1909 di Semarang lakon aneh ini ternyata pernah dipentaskan dalam bentuk pergelaran wayang kulit purwa dalam rangka memperingati Kongres Teosofi. Lakon Kunjarakarna memang religius, yang hanya dikenal oleh kalangan tertentu. Tercatat tanggal 27 Februari 1971 di Senayan, Jakarta, lakon ini kembali digelar dan sempat menghibur sekaligus....
                               Relief adegan melewati jembatan goyang neraka di Candi Jago


Tersimpan di Leiden
       Kitab Kunjarakarna mungkin satu-satunya kitab Jawa Kuno yang membahas dan merinci ngerinya keadaan neraka. Katanya, siksa neraka paling ringan itu 500 tahun lamanya, atau sama dengan 9 juta tahun menurut perhitungan bumi. Padahal kita tahu, keberadaan neraka itu misterius. Karena termasuk perkara gaib, dari dulu hingga kini belim seorang pun mengalaminya. Maka justru dari sinilah kitab ini menghardik moral manusia untuk terus berperilaku ugahari. Sayangnya, kitab maha menarik ini anonim, tidak diketahui siapa pengarangnya. Dalam pupuh (bait) terakhir 41:15, malah pengarang karya agung ini mengidentikkan dirinya sebagai seorang pujangga kampung, kadi ngwang adusun, yang merasa terlalu berani mempersembahkan karya yang tidak bagus. Sikap merendahkan diri itu memang ungkapan klasik pujangga Jawa Kuno yang tersohor. Bahkan kepopuleran nama, baginya tak perlu dikoar-koarkan. "Mayarakat sekarang perlu tahu isi kitab tersebut, karena di sana ada pengetahuan kehidupan setelah kematian versi Jawa Kuno", tuturnya.


       Mungkin betul, cuma untuk membaca kitab aslinya orang harus paham benar bahasa dan huruf Jawa Kuno. Lagi pula kabarnya kitab ini tidak ada di Indonesia, melainkan sudah seabad lebih disimpan aman di Museum Leiden, Belanda, dan belum diurus untuk dikembalikan kepada ahli warisnya. Paling baik, memang menyaksikan ukiran relief di Candi Jago, Malang, itu sendiri.


Oleh B. Soelist, Intisari Maret 1992 



0 comments:

Post a Comment