KH Abdullah Mudzakir Pencetak Kader Kiai dari Tambaksari, Sayung, Demak
TERIK matahari yang menyengat kulit tak menyurutkan niat sejumlah orang menuju makam KH Abdullah Mudzakir di perairan Sayung, Demak. Mereka terus menyusuri jalan setapak sepanjang 700 meter yang kanan-kirinya laut. Begitu sampai di kompleks makam, mereka melepaskan alas kaki dan duduk bersila di depan nisan berkeramik hijau. Wajah para peziarah itu masih terlihat kemerahan.
Di makam berukuran 7 x 7 meter itu mereka merasa sejuk. Selain terlindung cungkup, angin laut yang bertiup terasa menyegarkan. Sebelum memulai tahlil, juru kunci makam Kiai Fauzan (54) menabur bunga mawar ke pusara. Bau wangi bunga kian menambah suasana sakral. Dia duduk di sisi barat makam untuk memimpin tahlil. Para peziarah mengikutinya dengan khidmat.
Nama KH Abdullah Mudzakir, atau biasa disebut Mbah Mudzakir, di kalangan pesantren cukup dikenal.
Tak heran bila banyak santri yang datang untuk berziarah. Mereka tidak hanya dari Demak, tetapi juga luar daerah seperti Kudus, Wonosobo, Bogor, Bandung, bahkan Kalimantan.
SUBHANALLAH, di Demak, Ada Makam di Tengah Laut! Memang Dia Maha Besar, semua bisa terjadi apabila dikehendakiNya.
walaupun komplek pemakaman ini berada di tengah laut, namun masih tetap bisa kokoh berdiri meskipun ombak terus menerus menerjangnya sehingga akses menuju ke pemakamannya sendiri sudah tidak bisa dilalui lagi, karena telah rusak parah. Sebagai informasi, ini adalah komplek pemakaman Mbah Mudzakir di Morosari Demak, yang menurut warga sekitar, beliaunya sendiri masih keturunan langsung dari Walisongo.
Meski makam kiai kharismatik itu berada di tengah laut, konon tidak pernah tergenang oleh air pasang. Di sekitarnya memang terlihat banyak makam yang telah tergenang air. Hanya makam Mbah Mudzakir bersama istri dan anak-anaknya yang tidak terjamah air laut.
Sampai saat ini makam tersebut tidak pernah sepi dari peziarah. Biasanya mereka datang pada Jumat atau saat haul Mbah Muzakir di Bulan Zulkaidah.
Lokasi makam dapat ditempuh dengan jalur darat dan laut. Jika melewati darat, terdapat jalan penghubung berupa titian kayu sepanjang 200 meter dari Dusun Tambaksari, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Demak. Bila rob tiba, jalan itu tak lagi dapat dilalui karena tergenang air. Jalan setapak di Dusun Tambaksari juga tak bisa dilewati saat air pasang tinggi. Untuk tetap bisa ke lokasi, peziarah harus naik perahu.
Fauzan yang masih memiliki garis keturunan dengan Mbah Mudzakir menuturkan, pada mulanya kompleks pemakaman menyatu dengan daratan Dusun Tambaksari. Namun sejak 1998 Tambaksari terkikis oleh abrasi pantai.
Ketika air laut pasang seluruh perkampungan pun tergenang. Semula air pasang hanya menggenangi jalan, tetapi lama-kelamaan mencapai 60 cm. Kondisi itu membuat 80 keluarga di dusun itu memilih pindah. Sekitar tahun 1999, mereka bedhol desa ke Desa Purwosari.
Namun lima keluarga yang mempunyai hubungan saudara dengan Mbah Mudzakir memilih untuk bertahan, termasuk Fauzan. Mereka tetap bertahan karena merasa berkewajiban menjaga makam leluhurnya itu.
Kader Kiai
Siapa sesungguhnya Mbah Muzakir, hingga mendapat penghormatan banyak santri dan masyarakat? Menurut Fauzan, Mbah Muzakir adalah ulama yang semasa hidupnya melakukan syiar Islam di kawasan Pantai Sayung.
Semasa muda, pria yang lahir di Dusun Jago Desa Wringinjajar, Kecamatan Mranggen tahun 1869 itu banyak berguru kepada ulama dari berbagai daerah.
Setelah merasa cukup, sekitar tahun 1900 ia menetap di Tambaksari, Bedono serta menikahi Latifah dan Asmanah. Beberapa waktu kemudian dia menikah lagi dengan Murni dan Imronah. Dari empat istrinya Mbah Muzakir dikaruniai 18 anak.
Di tempat itu, ia mulai melakukan syiar Islam. Sebuah masjid pun didirikan. Cara penyampaian materi keagamaan yang mudah dicerna membuat banyak santri mengaji kepadanya. Mereka kebanyakan takmir musala serta masjid di Demak dan daerah sekitarnya. Karena itulah, ia sering disebut sebagai pencetak kader kiai. Bahkan semua keturunannya menjadi pemangku masjid dan musala.
Kiai yang sehari-hari menjadi petani tambak itu juga menguasai ilmu kanuragan. Ia kerap dimintai orang untuk menyembuhkan pelbagai penyakit. Kendati demikian, ia tak mengharapkan imbalan dari pertolongannya itu. Tak dimungkiri, keahlian dan keikhalasannya membuat nama Mbah Mudzakir kian dikenal orang. Dan itu amat mendukung upayanya dalam melakukan syiar Islam. Pada 1950 Mbah Muzakir meninggal dunia dalam usia 81 tahun.
Menurut Camat Sayung, Drs Eddie Jatmiko MM, makam Mbah Muzakir punya potensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata ziarah.
Diposkan dari Suara Merdeka
0 comments:
Post a Comment