Desa di Demak JATENG hilang
Maha Besar Allah dengan segala Firmannya
Masalah rob di Kabupaten Demak masih sulit diatasi. Bahkan, salah satu desa di Tambaksari, Bedono, Sayung, Demak perlahan mulai hilang.
Lokasi ini terletak pada posisi sekitar 06�.58'.824 LS dan 110�.21'.746 BT.
Ketinggian tempat mendekati 0 m dpl di tepi hingga perbatasan pemukiman.
Posisinya berada di wilayah timur, sekitar 10 km dari pusat kota Semarang.
Abrasi yang terjadi sejak 30 tahun terakhir mengakibatkan banyak penduduk di Desa Tambaksari mengungsi. Kini, dari ratusan penduduk hanya menyisakan tujuh kepala keluarga.
Sejak tahun 2009, berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi persoalan ini. Tetapi dari tahun ke tahun semakin parah. Pada tahun 2007, dari 12 desa yang terkena air pasang laut, sekarang sudah bertambah menjadi 26 desa.
Jika tidak ada langkah serius, 50 tahun mendatang sejumlah daerah di pesisir pantai utara Demak akan tenggelam. Sebab, setiap tahunnya kenaikan rob mencapai 8-12 sentimeter.
Dinas Kelautan dan Perikanan Demak pernah melakukan langkah-langkah terkait masalah ini. Selama lima tahun terakhir telah dilakukan dua kali relokasi terhadap 268 warga karena perkampungannya tenggelam oleh rob.
Soal abrasi di sepanjang pantai utara Demak, pernah menenggelamkan 2.106 hektar dan 1.710 di antaranya adalah tambak produktif. Kerugian akibat bencana tersebut mencapai ratusan miliar rupiah.
Warga Kampung Senik, Demak, Jateng, yang masih bertahan. (Dok: Sun TV)
Sejumlah warga meniti jalan darurat yang terbuat dari bambu di Desa Tambaksari, Bedono, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah, Senin (7/9). Limpasan air laut (rob) yang berlangsung sepanjang tahun telah menghancurkan dan menenggelamkan jalan desa yang sebelumnya ada. Untuk beraktifitas kini warga setempat terpaksa menggunakan jalan darurat dari bambu sepanjang kurang lebih 500 meter. ANTARA/HARYO SETYAKI
Kerusakan lingkungan di pesisir Pantai Utara Laut Jawa semakin memprihatinkan. Penyebab utama adalah abrasi atau pengikisan daratan oleh gelombang laut. Bahkan dua kampung, yakni Senik dan Tambaksari di Demak Jawa Tengah raib dan dihapus dari peta Indonesia.
Kini tinggal enam keluarga yang masih bertahan karena tidak memiliki biaya untuk pindah.
Satu-satunya jalan masuk ke Kampung Senik yang hanya selebar kurang dari 1 meter, juga telah terputus akibat diterjang ombak. Praktis untuk keluar masuk kampung, warga harus menyeberangi aliran air setinggi paha orang dewasa.
Tidak hanya itu, perjalanan dilakukan dengan jalan kaki menelusuri bekas tanggul sungai yang penuh lumut yang sangat licin.
Kondisi tanggul yang terendam rob selain dipenuhi lumut di beberapa titik juga telah rusak. Untuk itu, setiap melintas tanggul warga harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir. Bahkan tak jarang alas kaki putus akibat terperosok ke dalam lumpur.
Perjalanan harus ditemuh sejauh hampir 2 kilometer untuk menyaksikan perkampungan yang sudah mati, yang terlihat hanya bangunan-bangunan kosong dan rusak karena sudah lama ditinggal penghuninya.
Hanya sebuah masjid yang masih utuh, namun sisa-sisa lumpur memenuhi lantai. Tak jauh dari masjid tinggal salah satu keluarga yang masih bertahan di Kampung Senik.
Rumah keluarga tersebut sudah tidak beraturan, terutama pada bagian lantai. Air dari banjir rob kerap masuk dan menggenangi isi rumah.
Tambak yang terkena dampak abrasi. Foto : burungnusantara.org
Pembangunan Masif
Dua pertiga pantai utara Jawa mengalami abrasi, termasuk wilayah Sayung, Demak, tempat Dusun Tambaksari berada. Penelitian yang dilakukan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan FKIP Universitas Diponegoro, selama 2004-2006, abrasi di Sayung terjadi bukan akibat perubahan iklim. Melainkan karena gencarnya pembangunan di pesisir kota Semarang sejak 1980-an.
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan FKIP Undip, Johannes Hutabarat mengatakan, pembangunan yang menjorok ke pantai mengakibatkan perubahan arah arus menuju ke timur. Persis menerpa Sayung, yang posisinya ada di timur kota Semarang. “Setelah adanya reklamasi Pantai Marina maka perairan di muka pantai Semarang itu menjadi dangkal. Arah dan arus yang bergerak mulai dari arah perairan di sebelah barat, waktu sebelum ada reklamasi akan bergerak berputar masuk ke pelabuhan Semarang. Tapi akibat bangunan yang menjorok, pantai Sayung tergerus. Itu namanya longitudinal current.”
Pembangunan yang dimaksud Johannes adalah perluasan pelabuhan Tanjung Emas dan pengurukan di Pantai Marina. Di sana bakal dibangun sarana pendidikan, olahraga, kesehatan dan rekreasi untuk melengkapi Pantai Marina. Proyek ini dimulai sejak 1987 oleh PT Indo Perkasa Utama IPU ketika kajian Amdal belum diwajibkan. Izinnya diperkuat SK Walikota Semarang pada 2004.
Hingga akhir tahun lalu, abrasi di Kabupaten Demak meluas hampir seribu hektar wilayah. Puluhan fasilitas publik yang ada di pesisir Demak, kalah melawan gempuran abrasi. Kantor kelurahan Desa Bedono yang terparah terkena abrasi mencatat seribuan rumah rusak dan puluhan hektar tambak bandeng di 16 wilayah hilang terendam air pasang. Masyarakat kehilangan mata pencaharian sebagai petani tambak dan beralih menjadi pekerja pabrik, buruh bangunan, kerja serabutan atau nelayan tradisional seperti warga Tambaksari.
Pemerintah Jawa Tengah mengklaim sudah melakukan banyak hal untuk mengatasi abrasi sejak 2002. Kepala Badan Lingkungan Hidup Jateng Joko Sutrisno mengaku sudah membuatkan tanggul, sabuk pantai hingga menanam bakau kembali untuk atasi abrasi. Hasil memang belum optimal, kata dia. Selain karena garis pantai terlanjur dalam, juga lantaran cekaknya dana. Ratusan tanaman bakau yang ditanam sejak lima tahun terakhir pun rusak, tak kuat menahan hantaman gelombang. ”Dibuat tanggul tapi ini putus lagi. Membuat sabuk pantai untuk menghentikan abrasi. Sayung karena pas posisi garis pantai yang lama itu sudah dalam, biayanya mahal kalau sampai 3-4 meter kedalamannya. Kalau kedalamannya sudah lebih dari 2 meter terlalu berat. Belum tentu teknologi yang sederhana itu mampu mengatasi.”
Tanggul
Warga tak tinggal diam, terutama warga Dusun Tambaksari yang jadi salah satu korban abrasi di Sayung, Demak, Jateng. Kata Habib, selain menanam pohon bakau dan brayu, warga sudah membuat tanggul penahan ombak dari batu dan bambu secara swadaya. Tanpa bantuan pemerintah. Mereka masih rajin membangun tanggul sementara setiap hari, dengan cara bergotong royong. “Di depan itu. Pagi pasang sore diterjang ombak rusak lagi. Tiap hari.”
Fauzan dan Sapuan menambahkan, bantuan datang ketika pemerintah tertarik mengembangkan habitat burung kuntul di dusunnya menjadi objek wisata.Tapi, bantuannya tak maksimal. “Dulu pemerintah dimintain bantuan katanya percuma membantu sampai nggak mau membantu seperti anak tiri. Tidak diperhatikan pemerintah. Tapi akhir-akhir ini nampak banyak orang yang berkunjung. Mulai membantu sediki-sedikit seperti jalan karena pemerintah mengincar aset-aset yang dikembangkan menjadi wisata,” kata Fauzan.
“Bulan Januari dibangun pemerintah tapi belum ada setahun rusak lagi kena gelombang. Hanya diberi (batu) cadas, diuruk di kasih buis(beton) kira-kira baru 25 meteran,” lanjut Sapuan.
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pembangunan LSPP menuding, pemerintah tak serius menangani abrasi di Sayung, Demak. Ini lantaran tak ada koordnasi antar instansi dan kebijakan tata ruang yang jelas. Indra Kertati, Direktur LSPP mengatakan,“Koordinasi ini menjadi sangat krusial. Mustinya itu ditindaklanjuti untuk men-treatment pantai itu mau diapakan. Itu disepakati, studi sudah dilakukan pemerintah propinsi. Mustinya kabupaten kota menindaklanjuti dengan membangun penahan abrasi yang memungkinkan.
Pemerintah mulai care dengan pantai baru beberapa tahun, sejak Gus Dur mendirikan Departemen Perikanan dan Kelautan baru itu nampak agresif dan pantai kita sudah sangat rusak. Mainstreem lingkungn itu memang masih sangat lemah dikalangan pemerintah daerah karena ada konsekuensiya, pembiayaan yang sangat tinggi. Melakukan pencegahan sangat sulit sekali, itu yang selalu menjadi alasan, membangun pantai itu sangat mahal. Jadi pemerintah belum berpikir bagaimana multiplier efect yang seharusnya bisa dinikmati rakyat.”
Akibatnya, abrasi semakin meluas. Seperti yang terjadi di Sayung, Demak.”Sebab secara terstruktur yaitu perubahan tata ruang pantai, memanfaatkan pantai-pantai seperti di Marina itu sekarang diuruk. Apa yang terjadi ya akan cepet sekali banjir. Karena setiap kali ada treatment terhadap pantai itu pasti berakibat terhadap alam di sekitarnya. Salah satu sebab kenapa Sayung seperti itu. Lama-lama tenggelam ya logis lah.”
Warga Tambaksari yang tersisa tak menyerah. Hingga kini, mereka tetap mengupayakan terus membangun dusun semampunya.“Tidak ada pilihan-pilihan, keyakinannya sudah mantap disini. Sudah dibayangkan, sudah dipikir matang-matang. Selama ada penghuninya Insya Allah bareng-bareng. Asal ada penghuninya. Kalau nggak ada penghuni hilang sama sekali. Itu berkipir secara bodoh begitu. Contoh, rumah selama masih ditempati rusak diperbaiki, roboh dibangun. Kalau baik tapi tidak ditempati ya rusak,” tukas Fauzan.
Senja menggelayut, air pasang semakin meninggi. Pohon bakau dan brayu di sekeliling dusun bergoyang diterpa angin kencang. Ini saatnya meninggalkan Dusun Tambaksari. Khatib mengendalikan sampan yang terombang-ambing air laut. Sampan yang kami tumpangi tak ubahnya seperti warga Dusun Tambaksari yang tetap tinggal untuk menjaga tanah kelahiran meski perlahan terus digerus abrasi.
Dibalik Keceriaan (Alam masih mengancam keberadaan Mereka)
Ariflah dalam memanfaatkan Alam dan Lingkungan
Spesies Burung Pantai Migran di Lahan Basah Tambaksari
Gajahan Pengala (Numenius phaeopus), Gajahan Besar, Cerek Pasir Besar, Cerek Tilil, Cerek Besar, Cerek Asia, Cerek Kernyut, Trinil Pantai, Trinil Hiijau, Trinil Semak, Trinil Kaki Merah, Trinil Bedaran, Trinil Kaki Hijau, Trinil Rawa dan Terik Asia
Sumber : dari berbagai sumber
0 comments:
Post a Comment