Thursday, May 10, 2012

Masih Adakah Yang Meragukan Haramnya Anjing ?


Masih Adakah Yang Meragukan Haramnya Anjing ?daging anjing haram
kawi usa, sate jamu, sate guguk, guguk rica-rica
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.


Setelah kami mengkaji beberapa makanan atau hewan yang diharamkan dalam Al Qur’an Al Karim dalam posting sebelumnya. Dalam posting kali ini kami akan menjelaskan bahwa makanan yang diharamkan bukan sebatas yang disebutkan dalam Al Qur’an saja. Sebagian kaum muslimin ada yang memahaminya seperti itu. Sehingga akibatnya mereka nyatakan bahwa anjing itu halal karena tidak diharamkan dalam Al Qur’an.


Dalil mereka adalah ayat berikut ini,


قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).


Berdasarkan ayat ini ada dua kesimpulan dari mereka. Pertama, hukum asal setiap makanan itu halal karena ayat ini jelas menyatakan, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya”. Kedua, yang dikecualikan dari pernyataan halal sebelumnya artinya menjadi haram adalah empat macam yaitu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Jadi ada empat saja yang terlarang. Dalam ayat ini tidak disebutkan anjing, maka asalnya anjing itu halal.


Baiklah, apakah pemahaman semacam ini dibenarkan? Itu yang insya Allah akan kita bahas. Intinya, kami akan memaparkan bahwa hadits nabi seharusnya jadi pegangan dan jangan hanya memperhatikan Al Qur’an Al Karim saja. Karena hadits Nabawi itu berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap Al Qur’an, maka hukum yang ditetapkan dalam hadits pun harus diambil. Lebih lanjut mari kita simak pembahasan berikut ini.


Petunjuk Nabimu Tidak Boleh Diabaikan


Jika ada yang menanyakan, “Apakah makanan atau hewan yang diharamkan hanya sebatas yang disebutkan dalam Al Qur’an?” Jawabannya, tidak hanya terbatas dalam Al Qur’an saja. Karena kita pun diperintahkan untuk mentaati perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang tetap kita jauhi. Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,


فَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الْكِتَابَ وَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الرَّسُولَ وَاتِّبَاعُ أَحَدِهِمَا هُوَ اتِّبَاعُ الْآخَرِ ؛ فَإِنَّ الرَّسُولَ بَلَّغَ الْكِتَابَ وَالْكِتَابُ أَمْرٌ بِطَاعَةِ الرَّسُولِ . وَلَا يَخْتَلِفُ الْكِتَابُ وَالرَّسُولُ أَلْبَتَّةَ كَمَا لَا يُخَالِفُ الْكِتَابُ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Wajib bagi kita untuk mengikuti Al Qur’an, begitu pula wajib bagi kita mengikuti petunjuk Rasul. Mengikuti salah satu dari keduanya (Al Qur’an dan hadits Rasul), berarti mengikuti yang lainnya. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bertugas untuk menyampaikan isi Al Qur’an. Dalam Al Qur’an sendiri terdapat perintah untuk menaati Rasul. Perlu juga dipahami bahwa Al Qur’an dan petunjuk Rasul sama sekali tidak saling bertentangan sebagaimana halnya isi Al Qur’an tidak saling bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya.”[1]


Kita dapat melihat bahwa dalam beberapa ayat, Allah memerintahkan untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Ayat pertama,


قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 32). Ayat ini menunjukkan dengan jelas kita harus menaati Rasul.


Ayat kedua,


فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nur: 63). Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menyelisihi perintah Rasul akan mendapat ancaman. Hal ini menunjukkan bahwa perintah beliau pun harus tetap diikuti.


Ayat ketiga,


وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab: 36). Ayat ini menunjukkan orang mukmin tidak lagi punya pilihan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menetapkan hukumnya.


Ayat keempat,


فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. An Nisa’: 59). Ayat ini menunjukkan agar mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya.


Ayat kelima,


فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
“Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”(QS. An Nisa’: 59). Ayat ini menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sini menunjukkan benarnya dan menunjukkan konsekuensi dari keimanan.


Berbagai hadits pun menunjukkan untuk menaati Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Hadits pertama,


فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42, Ahmad 4/126. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)


Hadits kedua,


دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah)


Hadits ketiga,


أَلاَ إِنِّى أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلاَ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِىِّ وَلاَ كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السَّبُعِ وَلاَ لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلاَّ أَنْ يَسْتَغْنِىَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al -Qur’an dan yang semisal bersamanya (As Sunnah). Lalu ada seorang laki-laki yang dalam keadaan kekenyangan duduk di atas kursinya berkata, “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Al-Qur’an! Apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur’an dari perkara halal maka halalkanlah. Dan apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur’an dari perkara haram maka haramkanlah. Ketahuilah! Tidak dihalalkan bagi kalian daging keledai jinak, daging binatang buas yang bertaring dan barang temuan milik orang kafir mu’ahid (kafir dalam janji perlindungan penguasa Islam, dan barang temuan milik muslim lebih utama) kecuali pemiliknya tidak membutuhkannya. Dan barangsiapa singgah pada suatu kaum hendaklah mereka menyediakan tempat, jika tidak memberikan tempat hendaklah memberikan perlakukan sesuai dengan sikap jamuan mereka.” (HR. Abu Daud no. 4604. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).


Perhatikan baik-baik kalimat yang kami garis bawahi dalam hadits ketiga ini. Seakan-akan apa yang dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar terjadi saat ini. Ternyata saat ini sebagian umat Islam hanya mau mengambil apa yang telah disebutkan dalam Al Qur’an saja. Sehingga karen anjing tidak disebut dalam Al Qur’an kalau itu haram, maka mereka pun tidak mengharamkannya. Sungguh inilah bukti nubuwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menataati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diperintahakan untuk mengikuti petunjuk beliau secara mutlak dan dalam perintah tersebut tidak dikaitkan dengan syarat apa pun. Oleh karena itu mengikuti beliau sama halnya dengan mengikuti Al Qur’an. Sehingga tidak boleh dikatakan, kita mau mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam asalkan bersesuaian dengan Al Qur’an. Sungguh perkataan semacam ini adalah perkataan orang yang menyimpang.”[2]


Ringkasnya dari pembahasan dan dalil-dalil yang kami kemukakan: Walaupun tidak ada larangan atau perintah dalam Al Qur’an, namun jika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan atau melarang, maka seruan beliau tetap harus dipatuhi.


Bukti Haramnya Anjing Dalam Hadits Nabawi


Berikut kami bawakan beberapa bukti tentang haramnya anjing dalam berbagai hadits Nabawi.


Pertama: Hadits yang menerangkan larangan memakan binatang yang bertaring dan taringnya digunakan untuk memangsa binatangnya.


Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)


Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932)


Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,


نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)


An Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Syarh Muslim,


قَالَ أَصْحَابنَا : الْمُرَاد بِذِي النَّاب مَا يُتَقَوَّى بِهِ وَيُصْطَاد
“Yang dimaksud dengan memiliki taring adalah –menurut ulama Syafi’iyah-, taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”[3] Dari definisi ini, anjing berarti termasuk dari hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi.


Kedua: Anjing termasuk hewan fasik yang boleh dibunuh.


Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
“Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan kalb aqur (anjing galak).” (HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198)


An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah al khuruj (keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika ihram.”[4]


Sedangkan yang dimaksud dengan “kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya kalb aqur yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[5]


Ketiga: Upah jual beli anjing adalah upah yang haram, sehingga anjing haram untuk dimakan.


Dari Abu Mas’ud Al Anshori, beliau berkata,


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari upah jual beli anjing, upah pelacur dan upah tukang ramal.” (HR. Bukhari no. 2237)


Dari Abu Az Zubair, ia berkata bahwa ia mengatakan pada Jabir bin ‘Abdillah mengenai upah jual beli anjing dan kucing. Jabir lantas menjawab,


زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari upah jual beli anjing dan kucing.” (HR. Muslim no. 1569)


Perlu ingat pula kaedah, “Jika Allah melarang memakan sesuatu, maka pasti upah hasil jual belinya haram.”


Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
“Sungguh jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk mengkonsumsi sesuatu, Allah pun melarang upah hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud no. 3488 dan Ahmad 1/247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)


Dari sini jelaslah pula haramnya jual beli anjing karena anjing itu haram untuk dimakan.


Keliru Dalam Memahami Surat Al An’am Ayat 145


Sebagian orang salah dalam memahami surat Al An’am ayat 145 berikut,


قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” Kesimpulan mereka bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam ayat ini saja. Berikut kami bawakan sanggahan dari ulama besar yang hidup 200 tahun silam, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah (terkenal dengan Imam Asy Syaukani). Ketika menafsirkan surat Al An’am ayat 145 dalam Fathul Qodir, beliau memberikan penjelasan yang berisi sanggahan yang sangat bagus terhadap pendapat semacam tadi:


“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan pada mereka bahwa tiadalah ia peroleh dalam wahyu sesuatu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat ini. Maka ayat ini menunjukkan bahwa yang diharamkan sebatas yang disebutkan dalam ayat ini seandainya ayat ini adalah Makiyah. Namun setelah surat ini, turunlah surat Al Maidah (ayat 3) di Madinah dan ditambahkan lagi hal-hal lain yang diharamkan selain yang disebutkan dalam ayat ini. Seperti yang disebutkan terlarang adalah al munkhoniqoh (hewan yang mati dalam keadaan tercekik), al mawquudzah (hewan yang mati karena dipukul dengan tongkat), al mutaroddiyah (hewan yang mati karena lompat dari tempat yang tinggi), dan an nathihah (hewan yang mati karena ditanduk). Juga disebutkan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai haramnya setiap binatang buasa yang bertaring dan setiap burung yang memiliki cakar (untuk menerkam mangsa). Begitu juga disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai haramnya  keledai piaraan, anjing dan lainnya.


Secara global (yang dimaksud surat Al An’am ayat 145), keumuman yang ada berlaku jika kita lihat dari hewan yang dimakan sebagaimana yang dimaksudkan dalam konteks ayat dan terdapat nantinya istitsna’ (pengecualian). Namun hewan-hewan yang mengalami pengecualian sehingga dihukumi haram tetap perlu kita tambahkan dengan melihat dalil lainnya dari Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan masih ada hewan lain yang diharamkan. Tetapi kenyataannya diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan ‘Aisyah, mereka menyatakan bahwa tidak ada hewan yang haram kecuali yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 145. Imam Malik pun berpendapat demikian. Namun ini adalah pendapat yang sangat-sangat lemah. Karena ini sama saja mengabaikan pelarangan hewan lainnya setelah turunnya surat Al An’am ayat 145. Pendapat ini juga sama saja meniadakan hewan-hewan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hewan yang haram untuk dimakan, yang beliau menyebutkan hal tersebut setelah turunnya surat Al An’am ayat 145. Peniadaan yang dilakukan oleh mereka-mereka tadi tanpa adanya sebab dan tanpa ada indikator yang menunjukkan diharuskannya peniadaan tersebut.”[6]


Ringkasnya, pendapat yang menyatakan bahwa yang diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 145 adalah pendapat yang lemah dilihat dari beberapa sisi:


Pengecualian dalam ayat tersebut mesti melihat dari dalil lain dalam Al Quran dan Hadits Nabawi.
Dalam surat Al Maidah ayat 3 masih disebutkan adanya hewan tambahan yang diharamkan.
Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan adanya hewan lain yang diharamkan yang tidak disebutkan dalam Al Quran semacam keledai piaraan, anjing, dan binatang buas yang bertaring.
Kalau ini dikatakan sebagai pendapat Ibnu ‘Abbas, maka perlu ditinjau ulang karena Ibnu ‘Abbas meriwayatkan hadits mengenai terlarangnya binatang buas yang bertaring. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
Sebagian ulama katakan bahwa surat Al An’am ayat 145 telah dinaskh (dihapus) dengan surat Al Maidah ayat 3.[7]


Semoga pembahasan ini bisa meluruskan kekeliruan yang selama ini ada. 
Hanya Allah yang memberi taufik.


Artikel www.rumaysho.com


  1. Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 19/84, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
  2. Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (2/190-191), dinukil dari Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 126.
  3. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/83, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, cetakan kedua, 1392.
  4. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114.
  5. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/114-115.
  6. Fathul Qodir, Asy Syaukani, 2/490, Mawqi’ At Tafasir.
  7. Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 2/427, Mawqi’ At Tafasir.


0 comments:

Post a Comment