Showing posts with label BALI. Show all posts
Showing posts with label BALI. Show all posts

Friday, May 25, 2012

MAKEPUNG "Balapan Sapi di Bali"


MAKEPUNG "Balapan Sapi di Bali"
Makepung adalah tradisi asli dari kabupaten Jembrana. Makepung yaitu balapan kerbau yang dilakukan seusai panen padi, di Jembrana sendiri Makepung terdiri dari 2 blok, yaitu blok barat (IJO GADING BARAT) dan blok timur (IJO GADING TIMUR). Makepung biasanya diadakan setiap 2 minggu sekali.

Kalau Madura punyKerapan Sapi, maka Bali memilikMakepung. Dua tradisi yang serupa tapi tak sama, namun menjadi tontonan unik yang segar sekaligus menghibur.
Makepung yang dalam bahasa Indonesia berarti berkejar-kejaran, adalah tradisi berupa lomba pacu kerbau yang telah lama melekat pada masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana. Tradisi ini awalnya hanyalah permainan para petani yang dilakukan di sela-sela kegiatan membajak sawah di musim panen. Kala itu, mereka saling beradu cepat dengan memacu kerbau yang dikaitkan pada sebuah gerobak dan dikendalikan oleh seorang joki.
Makin lama, kegiatan yang semulaiseng itu pun berkembang dan makin diminati banyak kalangan. Kini, Makepung telah menjadi salah satu atraksi budaya yang paling menarik dan banyak ditonton oleh wisatawan termasuk para turis asing. Tak hanya itu, lomba pacu kerbau inipun telah menjadi agenda tahunan wisata di Bali dan dikelola secara profesional.
Sekarang ini, Makepung tidak hanya diikuti oleh kalangan petani saja. Para pegawai dan pengusaha dari kota pun banyak yang menjadi peserta maupun supporter. Apalagi, dalam sebuah pertarungan besar, Gubernur Cup misalnya, peserta Makepung yang hadir bisa mencapai sekitar 300 pasang kerbau atau bahkan lebih. Suasana pun menjadi sangat meriah dengan hadirnya para pemusik jegog(gamelan khas Bali yang terbuat dari bambu) untuk menyemarakkan suasana lomba.
Ketika mulai dilombakan pada tahun 1970-an, aturan dan kelengkapan dalam Makepung ikut mengalami beberapa perubahan. Misalnya, kerbau yang tadinya hanya seekor, sekarang menjadi sepasang. Kemudian, cikar atau gerobak untuk joki yang dulunya berukuran besar, kini diganti dengan yang lebih kecil. Kerbau peserta Makepung, sekarang juga lebih ‘modis’ dengan adanya berbagai macam hiasan berupa mahkota yang dipasang di kepala kerbau dan bendera hijau atau merah di masing-masing cikar. Sementara, arenaMakepung berupa track tanah berbentuk ‘U’, sepanjang 1 - 2 km.

Berbeda dengan Kerapan Sapi Madura ataupun event yang bersifat race lainnya, Makepung mempunyai aturan yang sedikit unik. Pemenang lomba ini bukan hanya ditentukan dari siapa atau pasangan kerbau mana yang berhasil mencapai garis finish pertama kali saja, akan tetapi ditentukan juga dari jarak antar peserta yang sedang bertanding. Artinya, seorang peserta akan dianggap sebagai pemenang bila ia menjadi yang terdepan saat mencapai finish dan mampu menjaga jarak dengan peserta di belakangnya, sejauh 10 m.
Namun, bila pasangan kerbau yang berada di belakang bisa mempersempit jarak dengan peserta di depannya, menjadi kurang dari 10 m, maka pasangan kerbau yang di belakang itulah yang akan keluar sebagai pemenang. Perlombaan diselesaikan dalam hitungan delapan sampai sepuluh menit dalam setiap race-nya.
Penggemar dan peserta Makepung di Jembrana terbagi menjadi dua kelompok yang dikenal dengan nama Blok Barat dan Blok Timur. Pembagian blok ini berdasarkan aliran Sungai Ijo Gading yang membelah ibukota Kabupaten Jembrana. Kedua blok akan bertemu dalam perlombaan resmi setiap dua minggu sekali. Dan, masing-masing blok mempunyai sirkuit sendiri yang kerap digunakan sebagai lokasi berlatih ataupun lomba yang bersifat resmi.
Hal unik yang membuat Makepung menjadi sebuah tontonan yang seru dan menarik, adalah ekspresi seorang joki yang berada di atas cikar dan sedang memberi semangat pada kedua kerbaunya dengan meneriakkan yel-yel daerahnya masing-masing. Sang joki memecut kerbau dengan sebuah tongkat selama berpacu di atas track selebar 2 m ini untuk bisa mencapai kecepatan maksimal. Beberapa joki juga menggunakan tongkat khusus di mana terdapat paku-paku kecil yang menempel pada tongkat tersebut. Maka, tak mengherankan bila kerbau yang digunakan berdarah-darah setelah mengikuti lomba ini.
Yang menambah serunya Makepung, dalam setiap lomba hampir selalu ada joki yang gagal mengendalikan kerbaunya. Hal ini kerap terjadi saat ada peserta yang akan menyalip peserta lainnya. Dan, saat kerbau lepas kendali, ia pun akan keluar lintasan dan akhirnya terperosok ke petakan sawah ataupun terbalik. Penonton pun bersorak-sorai…



Photo & Text by Barry Kusuma

Wednesday, May 23, 2012

Balian : Menguak Fenomena Balian dalam Kehidupan Orang Bali


Balian : 
Menguak Fenomena Balian dalam Kehidupan Orang Bali
Pada dasarnya konsep kehidupan orang Bali sbb : seluruh mahluk hidup mempunyai jiwa, baik tanaman, hewan maupun manusia. Jiwa (=Atman) berasal dari Tuhan YME; apabila jiwa tersebut masuk dan bereaksi dengan alam material ( yaitu ditambah lapisan-lapisan kehidupan) maka akan terbentuk makhluk hidup. Seperti itu sederhananya.


Lalu, yang disebut sebagai roh (atau roh gentayangan) adalah jiwa yang karena alasan tertentu belum/ tidak bisa menuju alam spiritual yg lebih tinggi (padahal badan kasarnya sudah tidak ada/ tidak bisa dipakai lagi). Jiwa ini (yaitu roh) masih diselubungi oleh beberapa lapisan (seperti pikiran, nafsu, keinginan dll) sehingga mereka masih mengingat segala sesuatunya semasa hidup. 
http://blog.baliwww.com/wp-content/uploads/2008/09/balian.jpg
Kewajiban : Seorang Balian sedang menangani pasiennya
Menurut kepercayaan, roh-roh ini menempati alam-alam tertentu; bukan alam material, tapi alam spiritual di tingkat-tingkat tertentu, sesuai kesadarannya terhadap Tuhan. Jadi, bila ada orang dengan kemampuan khusus (biasanya dikenal dengan istilah: "dukun", "cenayang" atau "medium") dan orang ini bisa menjadi perantara, maka roh ini bisa digunakannya.


Jin dan Wong Samar 
Orang Bali sebenarnya tidak familiar dengan konsep jin. Alih-alih jin, orang Bali meyakini adanya kekuatan alam yang bisa mempengaruhi manusia, yaitu Kekuatan Baik (Dewa) dan Kekuatan Buruk (Bhuta)–mirip dengan Feng Shui: ada energi positif dan negatif. Manusia dalam hidupnya akan selalu dipengaruhi oleh kedua kekuatan ini.


Tentang Bhuta; ada yang berwujud mahluk halus (di Bali dikenal dengan istilah wong samar). Menurut kepercayaan di Bali, mahluk jenis ini memang ada meski tidak terlihat (kasat mata) oleh sebagian besar orang. (Apakah ini yg dimaksud sebagai jin ??) 


Namun demikian, manusia harus hidup rukun dengan kekuatan Bhuta ini. Caranya: kita (manusia) dalam kehidupan sehari-harinya tidak lupa memberikan sebagian dari yang kita makan atau dari yang kita punya agar makhluk-makhluk ini tidak mengganggu. Hal ini karena makhluk tersebut memiliki potensi untuk memberikan efek negatif jika "tidak terkendali". 


Kenapa mahluk tersebut harus diperlakukan seperti itu? Karena setiap jengkal tanah di Bali ini (dan juga di daerah lain) ditempati mahluk tak kasat mata tersebut. Dan orang Bali sendiri percaya alam ini menciptakan makhluk-makhluk seperti itu. 


Hidup Bersama 
Apabila makhluk-makhlus halus tersebut tidak mau meninggalkan tempat tinggal mereka (yang bagi kita, misalnya, hanya semak belukar yang tidak nyaman) maka mau tidak mau kita akan "hidup bersama", sehingga ada dua pilihan: kompromi atau dengan jalan "kekerasan".


Konsep "hidup bersama" dengan makhluk-makhluk halus tersebut mirip dengan hidup bersama antara kita (manusia) dengan harimau atau macan. Pernahkah terbersit dalam pikirkan bahwa manusia telah mengubah dunia ini sedemikian sehingga ketika ada ular melintas di jalan raya dan tergilas truk tronton, ular tersebut tidak dapat protes pada sopir truk, pun tidak ada orang yg "menyalahkan" supir truk tersebut? 


Jadi, jika kita hidup bersebelahan dengan macan atau singa, kita harus beradaptasi. Jangan melulu dipandang bahwa pihak manusia selalu benar dan pihak macan (atau makhluk-makhluk halus) selalu salah. 


Masih inget acara pemburuan hantu di salah satu stasiun televisi kita?? Memang, terkadang, antara manusia dan makhluk-makhluk halus, bisa terjadi konflik yang solusinya tidak ada atau buntu. Sehingga pada keadaan tertentu, manusia harus memindahkan makhluk-makhluk tersebut ke tempatnya yg baru. Jika perlu: memakai "kekerasan". Tapi, selama masih bisa "musyawarah" dan saling "mengerti", kenapa harus pakai kekerasan? 


Memanggil Roh
Ketika sedang menjalankan "pekerjaannya", hampir sebagian besar dukun, yang pernah kulihat atau pengalaman orang lain, kehilangan kesadaran-sementara (kehilangan kontrol atas dirinya), meski saya belum pernah mendengar ada yg langsung jadi liar karena pengaruh roh-roh tersebut. Bisa jadi, roh-roh tersebut adalah roh-roh dari orang yg baik-baik atau
dukunnya udah punya penangkalnya. Pada intinya roh itu memang terikat di alamnya, maka dukun di Bali sering menggunakan istilah "memanggil", bukan "menyediakan tempat".


Tapi, untuk diketahui, setiap dukun hanya punya waktu yg terbatas untuk memanggil. Hal ini, kemungkinan, dikarenakan keadaan roh yg "terikat" tersebut. Ada yang perlu diperhatikan: kita (manusia) tidak bisa memanggil roh seenak hati dan sering-sering. Selain itu, seringkali perlu ada persyaratan yg harus ditebus untuk mendatangkan roh. Misalnya harus pergi ke suatu tempat atau bahkan permintaan lain yang lebih aneh. Pada kasus lain, pernah pula ada keluarga yg benar-benar ditolak oleh (roh) leluhurnya. Katanya karena antara anggota keluarga tersebut tidak rukun (bertentangan dengan pesan leluhurnya).
http://kfk.kompas.com/image/preview/aW1hZ2VzL3Nma19waG90b3Mvc2ZrX3Bob3Rvc18xMzExOTg4Nzc2X3JqNHBqVVVPLmpwZw%3D%3D.jpg
Fenomena Kerauhan : berinteraksi dengan para roh


Jadi, dukun-dukun* (yang terkenal dan bukan bertujuan untuk menipu orang) di Bali biasanya adalah orang yg punya "bakat khusus" sejak lahir atau, bagi yg tidak punya "bakat khusus", biasanya berpantang sedemikian lama untuk mencari ilmu, kuat di bidang spiritual dan otomatis tidak terlalu tertarik dengan hal material (harta, tahta dan wanita/ seksual). Kemudian, tempat tinggal atau tempat praktiknya pun biasanya "dilindungi" baik oleh benda2 kasat mata atau, bahkan, mahluk2 tak kasat mata.


"Terinfeksi"
Memang pasti ada kemungkinan makhluk-makhluk halus "masuk" ke dukun
kemudian melakukan aksi "tipu-tipu". Namun, seandainya sang dukun
benar-benar sakti, seharusnya kemungkian seperti itu sudah dapat
diantisipasi.


Keluarga-keluarga di Bali, karena percaya dengan Bhuta, maka di tiap-tiap rumahnya dan di tempat-tempat tertentu menyediakan sekedar "tempat berteduh" untuk roh-roh dan makhluk-makhluk halus yang karena suatu dan lain hal menjadi "gentayangan". Bagi yang bisa "melihat", lalu membandingkan antara "suasana" di Bali dan di Jawa, dia akan melihat ada yg "teratur" dan ada yg "acak-acakan".


Jadi, dengan suasana seperti itu, maka kecil kemungkinan buat dukun "terinfeksi" mahluk2 halus, kalaupun kerasukan, tentu pihak keluarga yang memanggil akan mendeteksi karena biasanya ada pertanyaan2 pribadi yg harus dijawab terlebih dahulu. Saya pernah melihat seorang dukun yg didatangi roh orang Inggris dan langsung bicara bhs Inggris, padahal dukun tersebut tidak dapat berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa Inggris.


Sekarang kita melihat hasil; dari hasil yg pernah saya dapatkan, belum pernah ada yg menyuruh seseorang untuk mencuri, membunuh dan sebagainya. Biasanya pesannya yaitu "hidup rukun", "jangan suka bertengkar" dan seterusnya. Jika kita coba pahami dari sisi ilmiahnya, setiap dukun belajar spiritual dengan tujuan bisa "memanggil" itu seharusnya mendapatkan frekuensi tertentu atau gelombang tertentu.* Dengan demikian, dengan pantangan dan latihan sedemikian berat tentulah tidak untuk mendapatkan frekuensi "massal" yg dapat "dibajak" makhluk-makhluk halus.


Bali: Persimpangan Energi Positif dan Negatif
Uniknya, kata "orang-orang spiritual", Bali adalah persimpangan (sekaligus pertemuan) antara energi positif dan negatif yang besar. Jadi, apa kesimpulannya ? Kalo Anda mau jadi orang yang baik, dari pelabuhan Banyuwangi (Jatim) menyebrang ke Gilimanuk (Bali), siapkan pikiran Anda dengan hal-hal positif. Niscaya, di Bali, benih-benih itu akan diperkuat jika pikiran Anda sudah "disetel" pada frekuensi tersebut. Sebaliknya, jika mau menjadi "jahat"? Gampang saja, lakukan yg sebaliknya. Ini terjadi pada kasus bom Bali (Amrozi dkk.). Hanya butuh waktu yang singkat, begitu tiba di Bali, mereka memantapkan diri untuk mengebom dan bahkan sampai sekarang nggak pernah merasa bersalah.


Tahukah Anda, salah satu kunci cepatnya kasus Bom Bali I terungkap adalah karena nomer rangka mobil yg tidak hancur. Hal ini berulang-ulang kali diutarakan oleh roh-roh manusia yg gentayangan di TKP via dukun, "lihatlah* nomornya" (meski pada awalnya polisi bingung "nomor" apa yg dimaksud)

Tantrayana : Menguak Keyakinan Calonarang


Tantrayana : 
Menguak Keyakinan Calonarang
Tantrayana Art An Album
Rakyat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, sejak dahulu memeluk agama yang berbeda-beda. Tantrayana adalah suatu aliran atau sekte yang pada masa lampau pernah cukup banyak pemeluknya dan berkembang luas di Indonesia; bahkan raja Kertanegara dari kerajaan Singasari adalah seorang penganut yang taat dari agama Budha Tantra.


Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah seorang raja yang sangat taat melaksanakan ajaran Tantrayana. Beliau hidup berpesta pora di dalam istana bersama-sama dengan mentri-mentri dan para pendeta terkemuka. Bahkan ketika Singasari diserbu oleh pasukan kerajaan Kediri pun mereka sedang mengadakan pesta pora, tetapi upacara pesta pora, makan minum besar-besaran tersebut bukan sebagai pesta biasa, melainkan raja bersama para mentri dan pendeta itu sedang melakukan upacara-upacara Tantrayana (Soekmono, 1959 : 60).


Untuk mengungkapkan perkembangan Tantrayana di Bali maka uraian tidak bisa lepas dari hubungan Bali dengan Jawa Timur, yang dimulai dengan perkimpoian raja Dharma Udayana Warmadewa di Bali dengan seorang putri raja Jawa Timur yang bernama Sri Gunapriyadharmapatni. Beliau adalah putri Makutawangsawardhana, sedangkan Makutawangsawardhana adalah cucu Raja Sindok. Pada masa pemerintahan Raja Sindok di Jawa Timur Tantrayana telah berkembang. 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCGqzVh6LkqGcKuV94ACafkbXaKQNQ6IlZ3s_ns-VLA9WxUufclpVBbA67fKBt6YEK1-xKC9pS7zC_TqlndWv_dHvMRsO5PZbRlgC9sb3r6d6mz5KnXTCA1xkORI9rlPWMw58Y2NY9BLm1/s1600/3524244659_f68fe1cd08_b.jpg
Rangda
Pada waktu itu telah disusun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang menguraikan soal-soal ajaran dan ibadah agama Budha Tantra. Kemungkinan bahwa Sri Gunapriyadharmapatni atau Mahendradhatta pun telah terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya di Jawa timur, sebab di Bali jaman pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa dan Gunapriyadharmapatni merupakan jaman hidup suburnya perkembangan ilmu-ilmu gaib. 


Cerita Calon Arang yang sangat terkenal di Bali dihubungkan dengan kehidupan Mahendradhatta. Di dalam Lontar Calon arang ada diuraikan bagaimana memuja Hyang Bhairawi atau Dewi Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di dalam negeri Kerajaan Airlangga. Calon arang dan muridnya menari-nari di atas mayat-mayat yang telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai korban agar semua kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara seperti itu adalah hal yang biasa di dalam Tantrayana.


Permaisuri Mahendradhatta mangkat lebih dahulu dari raja Udayana dan didharmakan di Burwan, Kutri, Gianyar. Di tempat itu beliau diwujudkan dalam bentuk arca besar Durgamahisasuramardhini. Arca itu merupakan Bhatari Durga yang sedang membunuh asura (setan) yang berada pada badan seekor kerbau besar (Goris, 1048 : 6). Arca itu menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradhatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah yang menganugerahi kesaktian (Shastri, 1963 : 49). Kendatipun dalam cerita calon arang banyak keadaan yang bercampur baur dan keliru, tapi mungkin ada dasar-dasarnya yang benar bahwa Mahendradhatta dilukiskan sebagai Calon Arang (Goris, 1948 : 7). Dengan demikian maka kemungkinan pada sekitar abad X Tantrayana telah berkembang di Bali.
http://www.berwisatadibali.com/wp-content/uploads/2012/01/archa+pura_durgha_kutri.jpg
Arca Durga Mahisasuramardhini di  Kutri


Kemudian pada sekitar abad XIII di Jawa Timur memerintah raja Kertanegara sebagai raja terakhir kerajaan Singasari. Raja ini terkenal dalam ilmu politik luar negerinya ingin meluaskan daerah kekuasaannya ke Barat sampai ke Bali. Menurut kitab Negarakertagama raja Kertagama pada tahun 1280 masehi membunuh orang jahat yang bernama Mahisa Rangkah dan selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 1284 beliau telah menyerang Bali dan rajanya ditawan (Krom, 1956 : 188). Hal itu tercantum dalam kitab Negarakertagama di katakan sebagai berikut :


Tahun saka : yama sunti hari baginda raja membrantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkah lakunya dibenci seluruh negara. Tahun saka : badan-badan langit hari kirim utusan untuk menghancurkan Bali setelah kalah rajanya menghadap baginda sebagai orang tawanan (Prapanca, 1953 : 38).
http://awidyarso65.files.wordpress.com/2009/03/negarakertagama.jpg
Kitab Nagarakartagama


Sayang sekali di dalam buku Negarakertagama itu tidak ada disebutkan nama raja Bali itu. Prasastinya hingga kini belum ditemukan di Bali, sehingga sulit bagi kita untuk mengetahui nama-nama raja di Bali pada waktu itu. Dr. R. Goris di dalam kitabnya Sejarah Bali Kuna (1948) menyebutkan bahwa ada dua buah prasasti yang berangka tahun caka 1218 dan caka 1222, yang tidak menyebutkan nama raja, tetapi banyak menyebutkan nama “Raja Patih” yakni Kebo Parud. Nama-nama dan pangkat mentri lainnya juga bercorak Jawa seperti mentri-mentri kerajaan Singasari.


Prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Kebo Parud berangka tahun caka 1218 berisikan persoalan dan kebengisan. Patih di dalam prasasti itu dikenal sebagai “Mwang Ida Raja Patih I mekakasir Kebo Parud” (Goris, 1948 : 11). Berdasarkan nama patih itu dan isi prasasti ternyata patih itu seorang pegawai negara yang berasal dari Jawa Timur. Nama semacam itu di Kerajaan Singasari sering dipakai sebagai nama patih raja Kertanegara antara lain Patih Kebo Arema dan Raganatha, Patih Kebo Tengah atau Aragani. Kemungkinan Patih Kebo Parud bertugas sebagai seorang Gubernur atau semacam itu yang mewakili pemeritah Singasari di Bali. 


Prasasti lainnya dari Kebo Parud berangka tahun caka 1222 yang menguraikan tentang desa Sukawati yang terletak di perbatasan Min Balingkang. Dalam prasasti ini terdapat kata-kata ; Mpukwing, Dharma Anyar, Mpukwing istana raja, Mpukwing dewa istana. Agama yang dianut Patih Kebo Parud rupa-rupanya adalah Tantrayana. Dalam prasasti-prasastinya pun tidak terdapat sapatha yang ditujukan kepada Maha Rsi Agastya, sering terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali yang dikeluarkan lebih dahulu.


Pada sekitar abad ke XIII di kerajaan Singasari Jawa Timur memang sedang berkembang bahkan menjadi pusat alian Tantrayana dan sebagai pemimpinnya adalah raja Kertanegara sendiri yang memerintah tahun 1268 - 1292.


Dari jaman Kebo Parud di Bali, didaerah Pejeng didapatkan sebuah arca Bhaiwara. Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang besar dan tegap, berdiri di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian menunjukkan dewa Siwa dalam keadaan marah (krodha). Arca di tempatkan pada satu bangunan yang disebut Pelinggih Bhatara Siwa Bhairawa. Bentuk arca itu serupa dengan arca Bhairawa di Singasari. Kemungkinan besar bahwa latihan-latihan Tantrayana dilakukan pula pada masa pemerintahan pegawai-pegawai kerajaan Singasari di Bali. Arca Bhairawa yang terdapat di daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo Edan. Sebutan Siwa Bhairawa oleh penduduk di sekitar pura itu menunjukkan bahwa arca itu adalah sebuah arca yang dibuat oleh para penganut Tantrayana untuk kepentingan upacara-upacara kepercayaan.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoZ4CAw56eglikb7HP92en_UIwYVDB-G-1F7LwByflg5R1cs7y0KRbzRNMbe8MlAA4sz3I4lblllT0aHwrhyIpxHcRscJ6c8tUqBO_2zqtwrRwT2oSO_4uwGxcot6Xef0TVU50BE9YaA4Y/s1600/Bali-Shiwa-Bhairawa-Kebo-edan-temple.JPG
Arca Bhairawa di Pura Kebo Edan, Gianyar - Bali


Selain arca Siwa Bhairawa tersebut di atas, di halaman pura Kebo Edan terdapat pula arca-arca raksasa. Satu arca itu ditempatkan pada satu bangunan kecil di muka sebelah kanan arca Siwa Bhairawa, sedangkan satu lagi ditempatkan pada satu bangunan di sebut Pelinggih Bhatara Kebo Edan. Kedua arca raksasa masing-masing tangannya membawa mangkok-mangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak. arca-arca itu dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat mengerikan dengan mata melotot. Demikian pula seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan rangkaian tengkorak, sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok darah yang dibawanya. Telinganya menggunakan anting-anting dengan hiasan tengkorak pula. Kedua arca itu mempunyai tinggi sama yaitu 130 cm.


Arca-arca tersebut di atas mengingatkan akan nama Chakrachakra yaitu sebuah arca Bhairawa di candi Singasari, Jawa Timur, yang tingginya 167 cm. Arca itu duduk di atas seekor anjing atau Srigala dalam keadaan telanjang bulat dengan hiasan-hiasan tengkorak dan kepala-kepala manusia pada seluruh badannya. Atribut pada tangan arca ialah sebuah pisau besar, trisula, gendang, dan mangkok tengkorak.


Arca serupa juga terdapat di Candi Biaro Bahal II, Padang Lawas, Batak dan Sumatra Tengah. Di tengah-tengah ruangan candi terdapat sebuah arca Heruka bersifat mengahncurkan. Wajahnya selalu membayangkan sifat merusak dan lebih hebat lagi terlihat pada saat dewa kejam itu sedang dalam puncak kemarahannya. Demikianlah pada jaman itu di candi Biaro Bahal itu telah diadakan upacara sukar ria yang melampui batas dan sangat menggemparkan dimana darah para korban di tumpahkan kedalam sungai. Dewa menari-nari di atas mayat manusia. 


Atribut arca Heruka ialah wajra atau kilap disertai petir pada tangan kanan, mangkuk tengkorak pada tangan kiri, tangkai katwanggu (Trisula
dihiasi dengan tengkorak-tengkorak, kepala manusia dan sebagainya) menekan pada badannya. Tengkorak-tengkorak menghiasi kepala dan badannya. Keajaiban seperti itu dalam upacara-upacara Tantrayana adalah biasa dan merupakan keharusan disertai dengan tertawa yang hebat, hal itu dipahatkan dalam salah satu prasasti di Padang Lawas : ha - ha - ha - ha - ha - hum hu - hu - he - hai hohu- aha - ha - om ah hum. Demikianlah gelak tertawa yang terpahat pada sebuah prasasti.


Dengan demikian rupanya pembuatan arca-arca Siwa Bhairawa dengan sikapnya yang dahsyat dan garang serta menari-nari di atas mayat manusia. Juga arca-arca raksasa yang membawa mangkuk-mangkuk darah sambil menghisap darah dari dalam mangkuk-mangkuk darah serta kerbau gila di pura Kebo Edan, kemungkinan besar dibuat adalah dalam hubungan kepentingan melakukan upacara Tantrayana. Demikianlah pada sekitar abad XIII Tantrayana Siwa Tantra atau Siwa Bhairawa berkembang luas di Bali.
http://ariesaksono.files.wordpress.com/2008/01/bhairawa-kertanegara.jpg
Arca Bhairawa


Jadi Tantrayana pernah berkembang luas di Indonesia khususnya di Bali dalam bentuknya Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa. Perkembangannya telah mulai terlihat sejak pemeritahan raja Dharma Udayana Warmadewa yang didampingi permaisurinya Mahendradhatta pada lebih kurang abad X. Dalam hal ini Mahendradhatta sebagai Calon Arang atau Rangda ing girah bersama murid-muridnya sebagai penganut Tantrayana memuja Dewi Durga untuk mendapatkan ilmu gaib, kesaktian agar terkabul segala kehendaknya.


Pada sekitar abad ke XIII pada jaman Kebo Parud di Bali Tantrayana juga dilaksanakan dengan tekun oleh Kebo Parud dan pegawai-pegawai Singasari lainnya yang bertugas di Bali pada saat itu.


Selanjutnya sesudah abad ke XIV tidak terdapat bukti-bukti lagi mengenai perkembangan Tantrayana itu. Kemungkinan bahwa setelah mengalami perkembangan yang meluas baik di Jawa, Sumatra, maupun di Bali, maka Tantrayana setelah abad XIV mengalami kemunduran. Sebab-sebab kemundurannya itu mungkin pula disebabkan oleh kemajuan cara berpikir manusia sehingga orang-orang menyadari bahwa arca-arca yang demikian atau sama sekali tidak sesuai dengan kemajuan jaman selanjutnya. Banyak upacara-upacara Tantrayana itu yang sangat bertentangan dengan kesopanan, tata susila, kemanusiaan dan hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang biasa.


Lebih-lebih lagi pada saat sekarang dalam hal ini Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, maka cara-cara 5 ma dan lainnya dari Tantrayana tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya Tantrayana pada akhirnya lenyap dari bumi Indonesia karena cara-cara pelaksanannya upacara Tantrayana itu terlalu bebas memberi kesempatan bagi setiap orang untuk memenuhi nafsu keduniawian dengan 5 ma-nya. Kemungkinan para penganut Tantrayana itu memang melaksanakan 5 ma itu dengan penuh kesadaran dan tujuan untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), sehingga melakukan 5 ma itu bukanlah merupakan nafsu dan kenikmatan duniawi. Tetapi cara-cara itu sangatlah sukar bisa dilaksanakan bagi orang biasa.


Demikianlah akhirnya Tantrayana itu tidak ada lagi sisa pemeluknya khususnya baik di Bali maupun di Jawa dan Sumatra.


Namun dalam beberapa hal faham Tantra hingga kini masih terlihat pengaruhnya, di Bali baik di bidang kesusastraan maupun seni pengaruh Tantrayana masih terlihat. Cerita calon arang, cerita yang sangat terkenal dan masih tetap semangat digemari oleh masyarakat Bali. Cerita calon arang melukiskan pertentangan antara raja Airlangga dengan para pengikut ilmu gaib dari aliran Tantrayana. Cerita ini hingga sekarang masih dilakonkan dalam bentuk seni tari. Mungkin banyak yang sangat terkenal dan masih ada di Bali sekarang merupakan sisa-sisa pengaruh Tantrayana yang masih terlihat sampai sekarang ialah sengguhu di Bali mempergunakan atribut kalachakra : sangku putih, genderang tangan dan genta (atribut menari dari Siwa Bhairawa) tergantung di atas sebuah chakra dengan sebuah pegangan atau tangkai garuda.


Apabila kita perhatikan dan kita amati secara lebih mendalam lagi pada buku Panca Yadnya khususnya mengenai upacara Bhuta Yadnya. Bahwa Bhuta Yadnya yang tidak lain adalah korban kepada Bhutakala, adalah bersumber dari ajaran keagamaan Tantrayana. Tantrayana termasuk sekta atau saktiisme, karena yang dijadikan objek persembahannya adalah sakti. Sakti dilukiskan sebagai Dewi sumber kekuatan atau tenaga. Sakti adalah simbol dari bala atau kekuatan (Sakti is the symbol of Bala or strength) (Das Gupta, 1955 : 100). Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau kala (This sakti or energi is also regarded as “kala” or time) (Das Gupta, ibid).
http://bali.panduanwisata.com/files/2011/11/mecaru4.jpg
Caru : salah satu bentuk Bhuta Yadnya


Dengan demikian Saktiisme sama dengan kalaisme. sekte keagamaan kalaisme disebut juga Kalamuka atau kalikas dan disebut juga Kapalikas. Sekte ini sejenis dengan aliran bhairawa atau Tantrayana kiri. Pengikut dari sekte ini di India kebanyakan dari suku Dravida, penduduk asli India, dari pendekatan Antropologi budaya, kepercayaan sejenis ini disebut Dynamisme.


Oleh karena pengikut sekte ini kebanyakan penduduk asli India maka juga disebut Sudra Kapalikas. Pengikut ini tidak percaya kepada sistem kasta dan pengikut ini selalu melaksanakan Pancamakarapuja atau Panca Ma sebagai bagian dari pelaksanaan ritual mereka. Panca Ma ( 5 ma) itu adalah : makan daging (mamsa), makan ikan (matsya), minum-minuman keras (mada), mudra (melakukan gerak tangan), mythuna (mengadakan hubungan cinta yang berlebih-lebihan). Ajaran ini hanya bersifat pemuasan nafsu dan dikucilkan dari Weda. Aliran ini memuja Dewi sebagai ibu, baik Bhairawi, Ibu Durga maupun Kali. Mereka adalah super matrial power.


Ibu Durga atau Bhairawi inilah yang melahirkan para bhuta-bhuti dengan kekayaan yoganya. Perihal penciptaan ini banyak diuraikan dalam berbagai lontar yang bersifat Tantrayana di Bali.


Tapi dalam Dharma Sastra, para bhutakala ini yang termasuk golongan Sadya adalah diciptakan oleh Brahman. Golongan Sadya itu terdiri dari makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari Dewa-dewa, mereka mempunyai sifat bermacam-macam. Menurut Manawa Dharma Sastra III. 196, golongan Sadya ini terdiri dari berbagai jenis Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa, Randharwa, Naga, Suparna dan Kimnara.


Daitya, Danawa, Raksasa, Yaksa dan makhluk astral rendahan lainnya seperti peri, setan, jin dan lain-lain adalah tergolong bhuta-bhutani. Semua golongan ini termasuk tingkat sadya yang diciptakan oleh Brahman.


Bhuta-bhutani yang disebut-sebut dalam sastra mempunyai sifat krodha yang artinya marah. Kelompok ini sebagai makhluk astral sangatlah ditakuti, karena sifatnya menganggu.


Raksasa adalah sejenis bhuta pula, termasuk didalamnya adalah Yaksa, Naga, Yatudhana dan Pisaca, kelompok ini juga disebut Krodhawangsa. Kelompok ini biasanya diberi tugas sebagai pelindung atau penjaga pintu sorga atau neraka termasuk kawah. Ceritera tentang kelompok raksasa ini banyak kita jumpai dalam ceritera Mahabharata.
Ogoh-ogoh : personifikasi Bhuta Kala


Yatudhana dan Panlastya adalah sejenis raksasa pula, karena kesaktiannya dapat memperlihatkan dirinya sesuai dengan kemauannya.


Paisaca adalah raksasa pula, tapi ukurannya lebih kecil dan sifatnya adalah mengganggu dan pemarah.


Asura adalah kelompok makhluk astral yang sifatnya bertentangan dengan dewa-dewa. Sifatnya sama pula dengan raksasa. Kelompok asura ini antara lain Danawa dan Aditya.


Setan adalah kelompok makhluk astral yang tingkatannya lebih rendah dari makhluk astra di atas. Mereka tergolong bhuta juga. Dalam Atharwa Weda dikenal nama-nama setan seperti setan golongan Sadhanwa, setan sebagai pisaci yang dinamakan magundi. Mereka adalah pengganggu keharmonisan atau ketentraman di dunia ini, oleh karena itu harus diusir dengan doa-doa yang berseranakan jimat (lihat Atharwa Weda, Sukta IX, hal. 51).


Dalam lontar Bhumi Kamulan menguraikan bahwa Siwa sebagai Tuhan, menurunkan Korsika, Gargha, Maitri dan Kurusya. Keempat putra ini disuruh menciptakan alam semesta, tapi tidak mau maka ia dikutukNya menjadi bhutakala, lalu diciptakanlah Pratanjala ia sanggup menciptakan dunia beserta isinya. Mula-mula tercipta para dewa-dewa, widyadhara-widyadhari, gandharwa, Kim nara semua ini makhluk halus yang bertabiat kasar seperti raksasa, danawa, pisaca, daitya, semuanya makhluk halus yang menyeramkan. Berikutnya sampailah diciptakan makhluk halus yang terendah yaitu jin, setan, bragala, memedi, tonye dan lain-lainnya berupa jenis bhuta yang memenuhi ruang dan waktu. 


Di lain pihak sang pencipta (Dewi Uma) tanpa disadari telah berubah wujud menjadi aheng, bertaring, berambut gimbal, tubuh dan mulutnya membesar. Demikianlah Uma telah berubah menjadi Durga. Melihat Uma menjadi Durga maka Pretanjalapun merubah dirinya kedalam wujud ganas, aheng (angker) yang disebut Mahakala. Semua makhluk halus, kasar, aheng dan angker ciptaanNya menjadi bawahannya. Mereka tinggal ditempat-tempat yang angker dan menyeramkan seperti pada jurang, pangkung, hutan, setra dan sebagainya. Para bhuta makhluk halus terendah menempati tempat-tempat yang kotor, aliran air, tempat sampah-sampah dan sebagainya.
http://namaha.files.wordpress.com/2009/06/durga-kali-maa.jpg
Dewi Uma menjadi Durga


Durga Mahakala dengan Vadvanya ini lalu menjadi ancaman terhadap dunia ini. Ia menimbulkan penyakit, membunuh makhluk seisi dunia ini maka sorgapun menjadi gentar. Oleh karena itu diperintahkan turun Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara, untuk membersihkan alam ini, dan menyucikan kembali Dirga Mahakala agar kembali menjadi somya, lalu Brahma menjadi Rsi, Wisnu menjadi Bujangga Waisnawa dan Iswara menjadi Pedanda, ketiga ini di sebuat Trisadhaka.


Demikianlah uraian lontar Bumi Kamulan atau Bhumi Sivagama menguraikan sebagai berikut. Karena kesalahan Dewi Uma, maka Bhatara Guru mengutukNya, lalu ia turun ke dunia menjadi Durga dalam wujud lima durga, yaitu Sri Durga berkedudukan di Timur, Raji Durga berkedudukan di Utara, Suksmi Durga berkedudukan di Barat dan Dahri Durga berkedudukan di Selatan dan Dewi Durga berkedudukan di Tengah.


Sri Durga beryoga menciptakan Kalika-kaliki, Yaksa-yaksi, Bhuta Dengen. Rajiyoga beryoga mengadakan Jin, Setan, Bragala-bragali, Bebai dan segala jenis penyakit. Dhari Duga lalu mengadakan Sangbhuta Kapiragan, Suksmi Durga mengadakan Kamala-kamali, Kala Sweta dan lain-lain. Sedangkan Dewi Durga beryoga mengadakan Panca Bhuta, yaitu : Bhuta Janggitan, Bhuta Langkiir, Lembu Kere, Bhuta Iruna dan Bhuta Tiga Sakti. Melihat Uma menjadi Durga, maka Betara Guru pun mengutuk dirinya menjadi Kala Rudra. Karena sentuhan Kala Rudra ini pada diri Durga, maka terciptalah Bhuta Kala yang memenuhi ruang dan waktu. Kemudian dalam perkimpoian Kala Rudra dengan Durga lahirlah Bhatara Kala.


Dalam Lontar Pangiwa, Ratuning I Macaling di sebut-sebut adanya Sasuhunan ring tengahing samudra dengan pepatihnya I Ratu Gede mecaling. Bhatari ini juga dikenal dengan nama Ratu Kasuhun Kidul atau Nyi Roro Kidul kalau di Jawa. Di Bali Beliau inilah yang memegang kekuasaan atas makhluk halus yang menyeramkan itu, termasuk para bhutakala-bhutakali. Menjelang sasih ke enam beliau dengan Vadvanya pergi kedesa-desa yang dapat menimbulkan penyakit, baik bagi manusia maupun binatang, agar manusia, binatang dan alam lingkungannya tidak terganggu makhluk halus angker dan ciptaan Durga lainnya, maka diperlukan suatu usaha untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan mempersembahkan caru atau menyadakan pecaruan.
Kanjeng Ratu Laut Kidul


Perlu digarisbawahi bahwa para praktisi Tantra menyatakan bahwa tujuan utama dari Tantra adalah sama seperti tujuan Weda yaitu mencapai Tuhan dan kebenaran, pengetahuan dan kebahagiaan yang merupakan atribut dari yang absolut. Menurut Kularnawa Tantra, Veda atau Sruti adalah apa yang diingatkan untuk jaman Tretayuga. Sedangkan Purana atau epos besar yang pernah ada adalah yang menjadi bahan perbandingan untuk lebih memahami ajaran Sruti dan Smrti tadi.


Akhirnya, dinyatakan bahwa Tantra adalah ajaran yang dikhususkan untuk jaman Kaliyuga. Mereka menyatakan bahwa tidak mungkin pada jaman Kaliyuga ini, untuk melakukan ritual yang sedemikian rumit dan berbagai tirakat yang terdapat di dalam Veda, akan tetapi alternatifnya adalah melatih Tantra yoga yang akan menuntun pada tujuan yang sama dan juga sekaligus memenuhi kebutuhan manusia (Tantra, hal. 183-184).


Demikianlah sekilas mengenai Tantrayana dan perkembangannya di Indonesia.


Sumber :IMadeInJpn

Tuesday, May 22, 2012

Wayang Bali Sangut, Delem, Merdah, Tualen : Bali Belajar dari Mereka..

Wayang Bali
Sangut, Delem, Merdah, Tualen : 
Bali Belajar dari Mereka..
Wayang Bali

Bali selalu memberi inspirasi pada saya, keunikannya tak pernah habis untuk dikupas. Keseniannya tak kunjung mampu dipahami dalam satu roda kehidupan, salah satunya adalah seni wayang kulit Bali. Bagi para pecinta kesenian ini tentu tak asing lagi dengan karakter punakawannya.


Dalam pewayangan Bali, ada 4 karakter punakawan yg bisa menjadi renungan: 

  1. Tualen. 
  2. Merdah. 
  3. Sangut. 
  4. Delem. 
Mereka “mewakili” sikap miliaran manusia yang dirangkum ke dalam 4 gambaran umum.

  • Tualen, dia “tidak tahu dirinya tahu”. Dia kontemplatif, murni bersandar pada batin, sederhana dan penuh kearifan. 
  • Merdah, dia “tahu dirinya tahu”. Dia paham, berani dan penuh percaya diri. 
  • Sangut, dia “tahu dirinya tidak tahu”. Dia tidak paham, namun bersikap menerima ketidakpahamannya, mengakui kelebihan orang lain, penuh pertimbangan. 
  • Delem, dia “tidak tahu dirinya tidak tahu”. Dia tidak tahu tapi merasa tahu, dia tidak tahu tapi tidak menerima pengetahuan orang lain, angkuh dan congkak di depan orang-orang, dan dia tidak bisa mengukur diri. Percaya diri di tengah ketakpahaman. Angkuh dan pongah, merasa paling benar.

Dari para punakawan ini, sadar atau tak sadar, masyarakat Bali memetik sikap: Kita memilih berperan seperti siapa?
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjP7e9rG-0dBkh8lf_TJEUzMGI5K8iBf8yvTHi_dWSvru_qcU6LOaGSpPJ5ct8iQZRtA8zZ2wbCOLa5xFmv-mJVVPvvrbt5504m-FysyfOt7yh8sFJuXHkuALncr1B-VPaBQdlXi49MaQI/s1600/wayang_1.jpg
Pertunjukan wayang kulit bali(karakter dalam gambar : Delem dan Sangut)

Setidaknya masyarakat Bali yang suka pewayangan akan malu bercermin pada Delem, yg selalu pongah dalam ketidaktahuannya. Minimal kita bisa merenung, kalau tidak tahu sebaiknya kita “tahu kalau kita tidak tahu”, ini sikap Sangut. Idealnya kita seperti Tualen, sekalipun ia paham dan tahu, dia tidak bersikap absolut
atau “tidak tahu dirinya tahu”; di sini seseorang dituntut menjadi arif sebab kenyataan dan kebenaran tidak berwujud tunggal, maka “selalu ada yang mungkin”.

Dalam dunia pewayangan, dari kaca mata para punakawan, dunia perasaan dan kemanusiaan diteliti dan dilihat dalam banyak perspektif. Delem selalu jadi tertawaan di Bali sebab Delem bersikap paling tahu di tengah ketidaktahuannya. Merdah yang “tahu dirinya tahu”, percaya diri dan berpengetahuan luas cenderung tergoda memaksakan sikap dan pikirannya.
Wayan Bali sketsa Miguel Covarrubias
Sketsa Miguel Covarrubias
Dari Merdah orang Bali belajar bahwa sekalipun pemikiran kita yang benar, yang benar-benar lurus, kalau dipaksakan ke orang lain, cara memaksa ini yang mengundang perdebatan. Cara Merdah yg paling tahu membuat dia terpancing arogan. Dari Merdah kita diajak belajar bahwa kebenaran harus dijalankan dengan cara-cara yang benar. Cara-cara benar itu ada pada Tualen, yang penuh kearifan membabarkan kebenaran, tanpa paksaan, tanpa menggurui, penuh kesantunan dan kesederhanaan. Secara kontemplatif.

Kebenaran menjadi mentah dan tampak dangkal jika disampaikan dengan tutur keras dan perilaku bermusuhan. Orang Bali yg mencintai wayang akan dibuat sadar, kebenaran menjadi sempurna bukan dalam diri Merdah, tapi dalam diri Tualen: Kebenaran menjadi sempurna dalam kesederhanaan tutur, kemuliaan hati, santunan, dan kesahajaan sikap.

Para dalang selalu mengingatkan: Rwabhinneda itu ada dalam diri manusia. Kala ya, Dewa ya.
Kalau kita terbersit rindu menonton wayang, barangkali kita rindu menjenguk Tualen, Merdah, Sangut dan Delem yang keempatnya ada dalam diri kita. Mereka silih berganti muncul dalam kehidupan nyata, pikiran dan diri kita menjadi kelirnya.

Kalau lama tak menonton wayang di luar sana, lewat tulisan ini, sebagai sahabat-kenalan-teman seperjalanan-saudara, mengundang setidaknya menonton layar di dalam diri. Tentunya lebih indah menonton wayang di luar sana, sambil menertawakan Delem dalam diri.
Ironisnya, saya sering melihat diri saya ditertawakan Delem. :)

http://duniasekitarmu.blogspot.com

Mangku Pogog : Sebuah Kisah Unik Dari Bali...


Mangku Pogog : 
Sebuah Kisah Unik Dari Bali...
Bali, sebuah pulau kecil yang terkenal di seluruh dunia akan keindahan alam dan budayanya selalu menyimpan berbagai macam keunikan, misteri dan terkadang keanehan-keanehan yang susah untuk dicerna oleh akal sehat. Mulai dari kisah-kisah mistis tentang Leak sampai pada segudang filosofis hidup masyarakatnya.


Ada satu hal yang tak pernah lepas dari kehidupan orang Bali, yaitu kisah dan cerita tentang para Balian, mereka adalah para penyembuh, dukun, terkadang juga guru spiritual dan selalu menjadi jujugan orang Bali ketika masalah hidup tidak kunjung menemui.


Kisah yang akan saya bagikan berikut ini adalah kisah seorang Balian yang bernama Mangku Pogog, adalah guru dan balian yang unik...Berbagai media dan ahli kedokteran dunia di buat tercengang dengan praktek penyembuhan yang dilakukannya. Tulisan berikut diterjemahkan dari sebuah artikel yang ditulis oleh Daniel D McGuire, seorang jurnalis, penulis,  produser film dokumenter dan kameramen. Berikut kisahnya...


Strange Case of Mangku Pogog
Mangku Pogog : Manusia memiliki keterbatasan
Selama beberapa tahun terakhir, Mangku Terbuat Pogog selalu berada di tempat tidur di rumahnya di Mengwi, Bali. Lumpuh karena stroke yang mempengaruhi sisi kiri tubuhnya, ia tidak mampu berjalan lebih dari beberapa langkah. Sebuah ember ditaruh di dekatnya kalau-kalau dia perlu buang air kecil, dan Pogog menghabiskan hari-harinya menonton televisi, merokok dan mengawasi cucu-cucunya.


Dia adalah pria yang berbeda dari yang saya temui enam tahun lalu. Pada saat itu dia adalah seorang Balian  (Penyembuh) yang terkenal. Artikel tentang dirinya diterbitkan dalam majalah "Shaman's Drum"  dan Bali Post. Dua kru film dari luar negeri telah mengunjungi rumahnya, dan produser sedang bernegosiasi untuk hak menceritakan kisahnya. Dia telah diterbangkan ke Jakarta, Italia dan Malaysia, dan mengobati Sultan Surakarta untuk kanker paru-paru. Pada usia 59 ia memiliki tubuh seorang atlet separuh usianya. Dan ia tumbuh kaya sebagaimana para turis kaya dari luar negeri datang menemuinya, membayar jumlah yang semakin tinggi untuk kombinasi unik dari pijat, yoga dan mantra.
Mangku Pogog ketika masih aktif menjadi Balian
Saya adalah salah seorang dari barat yang mengunjungi Pak Mangku pada masa itu. Saya telah membaca artikel tentangnya  di Shaman's Drum, yang menggambarkan sebuah metode penyembuhan aneh yang bisa membuat orang buta melihat, menyembuhkan kusta, dan mengobati infertilitas. Perawatannya seringkali melibatkan metode dia menjilati luka pasien atau daerah infeksi - praktek yang berbahaya. Namun para penulis artikel - dan banyak pasien Pogog itu - bersaksi tentang hasil yang ajaib. 


Tapi saya tidak datang untuk penyembuhan. Saya datang karena Pogog adalah karismatik dan fotogenik, dan sebagai kameramen dokumenter, saya pikir dia akan menjadi subjek ideal untuk sebuah film. Saya mengirim surat kepada Robin Lim, wanita yang menulis artikel tentangnya, dan dia memberi saya alamat e-mail dari seorang Amerika bernama Jerry, yang sedang belajar dengan Pogog pada saat itu. Jerry menegaskan bahwa saya bisa shooting untuk tujuan film dokumenter. 


Ketika saya tiba, Pogog sedang berada 25 meter di udara di pelepah pohon kelapa yang bergoyang, menjatuhkan buahnya berat ke tanah. Dia segera bergoyang-goyang ke bawah dan saya memperkenalkan diri. Pogog merupakan figur yang unik, bahkan pada usia 59. Tubuhnya berotot, fleksibel dan kuat dari bertahun-tahun yoga. Ketika ia mengetahui bahwa saya juga berlatih yoga, dia senang - ini kesamaan yang membantu memecahkan es.  


Dia ingin tahu tentang kamera video saya dan ingin tahu berapa biaya yang diperlukan. Saya menjelaskan kepadanya ide saya untuk film dokumenter dan dia setuju untuk membiarkan saya membuat rekaman video. Rencana saya adalah untuk mengetahui apakah ia adalah benar-benar pencipta mukjizat sebagaimana diberitakan . Saya tidak memberitahu dia bahwa harapan saya adalah untuk mendokumentasikan sebuah "keajaiban" penyembuhan. Jika Pogog ternyata seorang penipu karismatik, saya akan membuat film tentang itu. Di sisi lain, saya melakukan pekerjaan saya sebagai seorang jurnalis - atau itu yang saya pikir pada saat itu.


Buku Fred Eisenmann "Sekala and Niskala" adalah titik referensi asli saya. Eisenmann menggambarkan berbagai jenis Balian - Balian Taksu, yang masuk ke trance dan berkomunikasi dengan dunia roh, Balian Usada, penyembuh yang berpendidikan yang mengkhususkan diri dalam mantra dan doa-doa yang dibaca dari script lontar-lontar, dan Dukun Beranak - yang seringkali menjalankan baik praktik aborsi maupun menjadi bidan. Tidak semua Balian adalah penyembuh. Beberapa mengkhususkan diri dalam Bali numerologi atau kosala kosali - geomansi (ilmu tentang pengukuran tanah: tata ruang). Lainnya, seperti para Juru Nerang, yang dipanggil untuk mencegah hujan jika Anda merencanakan acara pernikahan.
http://ia600801.us.archive.org/zipview.php?zip=/29/items/olcovers72/olcovers72-L.zip&file=721667-L.jpg
Buku Sekala and Niskala
Saya kemudian mengunjungi Eiseman di rumahnya di Jimbaran dan dia menjelaskan lebih rinci. "Balian adalah orang-orang yang mengkhususkan diri pada ilmu hitam, dalam mengurangi penyakit yang orang pikir disebabkan oleh mantra yang dilemparkan oleh tetangga atau anggota keluarga yang iri ." Katanya. Di masa lalu, sebelum kedatangan obat allopathic, Balian dilakukan berbagai tugas non-supranatural , seperti pengaturan tulang, menyiapkan tanaman obat dan tapal obat untuk korban, serta sesuatu yang sekarang disebut konseling psikologis. Tapi sejak kedatangan obat barat, mereka telah menyerahkan sebagian besar dari tugasmereka  untuk dokter. "Tapi ketika dokter gagal, dengan cepat akan menjadi misterius dan Orang Bali akan menduga ilmu hitam sebagai penyebabnya Kemudian mereka akan pergi ke Balian.." 
Menghabiskan waktu di Bali dan Anda akan mendengar cerita penyembuh ajaib yang menerima "wayhu", sebuah anugerah dari Tuhan, yang memberikan mereka kuasa untuk menyembuhkan orang dari penyakit yang menurut dokter tidak dapat disembuhkan. Dengan asumsi bahwa penyembuhan nyata memang terjadi, pertanyaan pertama dari para skeptis adalah bagaimana? Apa mekanismenya? Dan mengapa seorang Balian berhasil ketika dokter gagal? 
Tanyakan Balian dan dia akan memberitahu Anda, dengan kerendahan khas Bali, bahwa mereka sendiri tidak menyembuhkan - Tuhan menyembuhkan orang sakit melalui mereka. Tapi penjelasan itu tidak memuaskan orang Barat. Fred Eisenmann, yang insinyur kimia, berpikir bahwa sekutu penyembuh terdekat adalah sistem kekebalan pasien itu sendiri. 
"Mengingat waktu, banyak orang sakit akan sembuh dengan sendirinya, dengan atau tanpa dokter atau penyembuh. Dan baik dokter maupun para penyembuh mengambil keuntungan dari ini.. Tapi Balian hampir selalu menghabiskan waktu jauh lebih banyak dengan pasien daripada dokter. Balian pada umumnya menghabiskan lebih dari satu jam dengan pasien menanyakan berbagai pertanyaan terkait, ini memiliki sikap untuk membantu pasien, dan penelitian terbaru menyimpulkan bahwa sikap pasien terhadap penyakitnya dapat memiliki nilai therapudic mendalam.. " 
Balian menghabiskan waktu dengan pasien sangat sering mengungkapkan sosial, fisik, kondisi lingkungan dan psikis yang mencegah sistem kekebalan tubuh dari melawan penyakit tersebut. Penyembuh mungkin berhasil ketika dokter gagal karena penyembuh memiliki pendekatan holistik daripada  gejala. 
Orang Bali jarang pergi sendirian ke balian atau penyembuh - sering mereka membawa seluruh keluarga mereka. Saya akan duduk di Bale Pogog berjam-jam mengawasinya membuat lelucon, wawancara, dan menghibur keluarga pasien. Pada awalnya saya pikir ini buang-buang waktu. Tapi setelah beberapa saat saya menyadari bahwa Pogog berusaha memahami dinamika kompleks keluarga - yang memiliki kekuatan, di mana kesetiaan adalah, dan bagaimana mereka mempengaruhi kesehatan pasien. 
Suatu hari, diantar anaknya dengan wajah cemberut dan badan penuh tato, seorang pria tua datang  mengunjungi Pogog. Setelah disuguhi teh dan percakapan, Pogog mulai memijat orang tua itu, yang mengeluh migrain, sakit punggung dan tekanan darah tinggi. Selama Pogog bekerja, anak itu duduk di dekatnya menyaksikan sambil merokok. Biasanya anggota keluarga pasien menonton dari platform di dekatnya, tetapi pemuda ini duduk dekat dan menggangu proses pijat dengan menyela seperti komentar  "Ada Mangku di Gianyar yang melakukan itu." dan "Mengapa Anda memijat lengannya Dia punya sakit kepala.?" 
Tanpa peringatan, Pogog, yang duduk dalam posisi sila ganda, mengangkat dirinya dan menarik kakinya ke belakang, menendang pria muda itu di dada dan menjatuhkannya dari bale. Pemuda itu lebih terkejut daripada sakit hati, tapi semua orang membeku. Pogog meluncurkan  cacian terhadap pemuda itu. "Anda ingin tahu mengapa ayah Anda sakit, Anda adalah alasan ia sakit! Anda! Pergi! Anda ingin melaporkan saya ke polisi, pergi laporkan saya. Saya tidak mengundang Anda ke rumah saya." 
Pemuda itu mundur segera dan cepat meninggalkan rumah Pogog setelah mengucapkan permintaan maaf. Pogog selesai melakukan pemijatan, berdoa, kata mantra, ditaburi orang tua itu dengan air suci dan mengatakan bahwa dia harus kembali dalam beberapa minggu untuk pengobatan lain - tanpa diantar anaknya. 
Itu adalah kasus yang unik dan khas dari mayoritas pasien yang datang untuk melihat Pogog, tetapi secara dramatis diilustrasikan bagaimana dan mengapa Balian mungkin memiliki keuntungan lebih dari seorang dokter, yang akan hanya melihat orang tua itu, diambil tekanan darahnya, memberinya suntikan B12 dan aspirin. Diagnosis Pogog - untuk mata saya - tampaknya akurat. Dan meskipun tidak etis dari sudut pandang medis untuk menendang anak dari Bale, sebagian besar orang mengunjungi Pogog yang pada kenyataannya tertarik padanya karena reputasi menakutkan itu. Dengan memasukkan rumahnya yang diam-diam menyetujui terapi eksperimental, belum terbukti, dan shock. 
Balian adalah orang-orang biasa, tapi Pogog tidak biasa bahkan untuk seorang Balian. Dia tidak sesuai dengan definisi buku teks. Prakteknya adalah sintesis dari bentuk yang berbeda. Dia adalah seorang tukang pijat yang sangat baik di sebuah pulau terkenal dengan tradisi terapi pijat. Dia berpengalaman dalam sistem ayurevedic penyembuhan yang menekankan saluran energi yang disebut nadi, yang dapat dibuka melalui yoga dan pijat jaringan dalam. Dia melek dan tahu banyak mantra. Dia memiliki buku-buku tentang Yoga dan anatomi. Dan dia selalu belajar, meskipun saya kecewa melihat bahwa ia telah bertemu cukup "New Age" orang Barat untuk menggabungkan kristal penyembuhan ke dalam prakteknya. Yang lebih penting, perawatan nya tampaknya berhasil.  


Saya melihat salah satu pasien yang disebutkan dalam artikel majalah Shaman's Drum, seorang rekan Robin Lim dengan kondisi kulit mengerikan yang  dianggap kusta. Ternyata bahwa orang itu menderita kasus psoriasis melumpuhkan. Pria ini mengatakan kepada saya bahwa ia telah bebas dari gejala penyakit itu selama setahun setelah proses penyembuhan yang disaksikan oleh Lim - dan ia percaya bahwa Pogog yang menyembuhkan dia. 
Pogog sedang mengobati pasien
Apakah Pogog melakukan sihir? Aku melihat kata "ajaib" dalam kamus dan menemukan bahwa salah satu definisinya adalah "seni atau ilmu mendapatkan hasil." Hasil, kemudian, adalah kunci - apakah Anda mendapatkan mereka melalui seni atau ilmu pengetahuan, intuisi atau suntikan. Saya percaya bahwa Balian Pogog secara intuitif tahu bahwa banyak penyakit fisik adalah hasil dari patologi mental, dan bahwa cara untuk menyembuhkan fisik untuk menghadapi perilaku belajar bahwa sistem melumpuhkan kekebalan tubuh. Jelas, metode seorang Balian yang tidak akan pernah berdiri untuk pengawasan dari papan peer review, tetapi ini karena kekuatan Pogog sebagai penyembuh datang dari pemahaman intuitif Seni kedokteran.Sebuah sesi khas dengan Pogog dimulai dengan diskusi panjang / konsultasi. Anda kemudian akan menemani Pogog ke Bale dan Pogog akan "mendengarkan"  kaki Anda - melanggar tabu terhadap kebiasaan di Bali dimana tubuh bagian bawah tidak etis bersentuhan dengan bagian yang lebih tinggi. Pogog kemudian akan memulai pengobatan. Dia menggunakan sejumlah "alat peraga" termasuk dua batu bulat besar dan log kayu keras. Dia akan menempatkan bebatuan di berbagai bagian tubuh Anda - telapak kaki dan telapak tangan, ketiak dan di daerah selangkangan, dan memukul mereka dengan batu. Keras.
the dense stone absorbed the kinetic energy - but it was loud and the effect was dramatic and startling.">Ini tidak menyakiti Anda - batu padat menyerap energi kinetik - tapi cukup keras dan efeknya dramatis dan mengejutkan. Pogog akan menceritakan lelucon dan tertawa sepanjang waktu.


Jika Anda punya masalah tertentu atau jelas - ruam gigih, patah tulang yang tidak akan sembuh dengan baik, atau bahkan luka terbuka dengan nekrosis maju, Pogog akan berlaku sirih bernoda ludahnya atau bahkan menjilat daerah yang terkena. Dia kemudian akan terus menempatkan Anda dalam berbagai pose yoga, memanipulasi otot dan tendon, dan kemudian mengundang Anda untuk duduk di pundaknya saat dia berjalan di sekitar kompleks itu, tertawa, menyanyi dan menari semua sementara. Lalu dia akan taburi Anda dengan air suci dan mengirimkan ke kuil untuk berdoa. 


Penggunaan dari mulut dan air liur Pogog selama perawatan nya mungkin aspek yang paling contraversial dari metodenya. Dari perspektif saya, ini adalah tidak sehat dan lebih buruk diperparah resiko penyebaran penyakit menular. Saya mencoba, bersama dengan banyak orang lain, untuk mengesankan ini pada Pogog dan dia selalu akan tertawa dan mengatakan bahwa dia tidak seperti dokter yang membutuhkan masker dan sarung tangan karet karena ia memiliki cara sendiri untuk melindungi diri terhadap penyakit. Setelah dorongan banyak, ia akhirnya menjelaskan mengapa dia berpikir dia kebal dari penyakit menular umum. 


Artikel The Shaman's Drum tidak melaporkan bahwa Pogog percaya kekuatan penyembuhannya berasal dari roh binatang. Pada tahun 1963 ia sangat miskin, dan mengalami kesulitan untuk memberi makan anaknya yang baru lahir. Dia pergi ke sawah banjir pada malam hari untuk mencari ikan dan berdoa untuk situasi yang lebih baik. Suatu malam, dia mengatakan, lintah raksasa muncul, menyelimutinya dan memasuki mulutnya. Dia pingsan, tapi bangun sebelum fajar seolah-olah dari sebuah mimpi. Dia kembali bekerja dan segera menangkap tiga ikan lele besar. Nasib baiknya sebagai nelayan terus untuk waktu yang lama setelah itu - tetapi bahkan lebih penting ia menemukan bahwa ludahnya memiliki kekuatan untuk menyembuhkan. Dengan harfiah "menjilat" masalah, dia bisa menyembuhkan berbagai kondisi yang karena alasan sopan santun  mencegah saya dari menjelaskan hal ini.


Dia mengatakan kepada saya bahwa sebelum mengobati orang ia meminta bantuan dan izin dari spirit, yang bahkan memiliki nama. Roh, dalam pertukaran untuk "menggunakan" tubuh Pogog itu, akan melindunginya dari penyakit.


Keluarga Pogog dan Pogog dengan jelas percaya pada roh ini, dan bahkan membangun sebuah tugu pemujaan untuk itu. Ketika saya bertanya apakah saya bisa mengambil foto lintah ini, dia tertawa. "Lintah ini seperti angin, Anda tidak dapat melihat angin itu sendiri,. Tapi Anda bisa melihat bagaimana ia menggerakan pohon." Jelas, sulit bagi saya untuk menerima kenyataan dari lintah supranatural, dan tidak ada keraguan bahwa Pogog juga akan mengalami kesulitan menerima keyakinan spiritual yang menginformasikan keluarga saya, yang konon makan tubuh dan darah Kristus pada hari Minggu.  


Apa ini sistem dua kepercayaan  atau epistomologies memiliki kesamaan adalah gambar pusat yang kuat dan metephor yang, menurut definisi, misteri. Lintah adalah metephor dari, yang menyuntikkan racun dan secara bersamaan menghilangkan sakit atau "keburukan" di dalam darah, adalah alat visualisasi primal dan resonansi yang pernah populer bahkan dalam kedokteran medival Barat. Lintah tidak diragukan lagi bahkan melangkah lebih dalam, dan mungkin berhubungan dengan pra-Hindu, keyakinan animis yang masih menginformasikan dunia-pandangan penduduk desa Bali.


Semua aspek Seni Pogog itu: metephors, citra, pekerjaan pijat, sepertinya ditujukan untuk mengurai - hampir secara harfiah - tubuh pasien dan sikap mereka terhadap tubuh mereka. Dia akan melucuti Anda dengan humor, mengaduk Anda, memutar, menampar Anda, memeluk, menjilat Anda, bernyanyi dan menari dengan Anda sampai setiap batas yang Anda pernah didirikan, setiap aturan yang Anda pernah tahu, bangunan kepribadian Anda telah rusak , terbalik, dipuji, diejek, diangkat, dijatuhkan dan hancur. Proses fisik kinestetik dari "pijat" mencerminkan suatu proses psikis yang meminta Anda untuk melihat kembali pada kepala Anda menelepon tubuh Anda, mengambil persediaan, dan mengevaluasi kembali sifat Anda "Sakit" - sakit Anda - dan hubungan Anda dengannya.


Dan setelah melanggar Anda ke bawah, apa yang tersisa? Sakit itu masih ada, tapi hubungan pasien untuk Sakit itu telah berubah. Mengingat bahwa pasien biasanya disertai oleh keluarga mereka, hubungan keluarga dengan pasien dan Sakit nya - dibedakan oleh kasihan, jijik, rasa bersalah, rasa takut schadenfreude, kemungkinan - telah diubah. Dan karena khalayak yang besar dari orang asing di ruang tunggu telah menyaksikan pengobatan ini juga, hubungan pasien ke dunia luar juga telah direkonstruksi dan didefinisikan ulang. Transformasi ini katarsis itu, dalam banyak kasus, meletakkan dasar untuk fisik, perubahan biokimia.


Tapi untuk berkonsentrasi pada aspek "Seni" dari "ajaib" Pogog adalah untuk menggambar gambaran yang tidak lengkap. Pogog adalah seorang tukang pijat terampil dengan pemahaman yang mendalam dari "ilmu" anatomi. Dalam pekerjaan saya sendiri sebagai mahasiswa dan guru yoga saya telah bepergian ke India dan seluruh Asia Tenggara dan bertemu dengan sejumlah orang dengan pemahaman yang mendalam dari tubuh pada kedua tingkat kotor dan metafisik. Pogog jelas salah satu yang terbaik dalam hal ini. Latihan yoga sendiri sangat fenomenal.  


Dia juga memiliki kemampuan untuk menempatkan atau membantu pasien-pasiennya ke posisi yoga canggih yang sampai saat itu fisik tidak mungkin untuk mereka. Dia juga tahu, seperti osteopati atau dokter chiropractic, bagaimana membantu orang dengan Real - luka fisik atau kerusakan - tidak psikosomatik.  


Contoh:Seringkali anak laki-laki dilahirkan dengan satu atau kedua testis tidak turun. Biasanya, testis turun ke dalam skrotum adalah sebelum anak  12 bulan. Bila testis tidak turun, satu-satunya pilihan yang ditawarkan para dokter  adalah untuk beroperasi. Seperti semua prosedur pembedahan dilakukan di bawah anestesi umum, selalu ada kemungkinan komplikasi - perdarahan, infeksi, dan bahkan kematian.


Pogog memiliki teknik yang berbeda yang sering dilakukan pada anak laki-laki dan laki-laki muda dengan kondisi ini. Dia akan melakukan pijatan di perut pasien lebih rendah dan mencoba untuk pop testis melalui guberculum menghalangi ke dalam skrotum. Jika itu tidak berhasil, ia akan mengambil skrotum pasien ke dalam mulutnya dan - sambil terus pijat perut dengan tangan bebas - menciptakan vakum dengan mulut yang akan muncul testis melalui sumbatan dan turun di tempatnya.


Saya jelaskan teknik ini untuk seorang dokter barat dan, seperti yang diharapkan, ia menggelengkan kepalanya dan meringis. Tidak ada dokter barat bisa melakukan seperti teknik tanpa kehilangan lisensi medis karena kesan ketidakpantasan seksual. Tapi setelah berpikir sejenak, dokter ini sepakat bahwa teknik ini tidak memiliki kelebihan. Berbeda dengan operasi, tidak ada risiko infeksi atau efek samping yang terkait dengan anestesi umum. Prosedur ini memakan waktu sekitar sepuluh menit, adalah murah, dan pasien bisa pulang bukan hanya hari itu, tetapi beberapa menit kemudian.


Mungkin pasien menderita luka psikologis setelah menjalani prosedur mengejutkan seperti ? Khususnya diBali yang sarat dengan budaya tabu? Tentunya itu adalah risiko, tetapi ini tidak berarti tertentu. Dan manfaat dari prosedur untuk laki-laki atau laki-laki muda, yaitu. fungsi seksual dan reproduksi yang normal - mungkin mengalahkan setiap trauma mental yang berhubungan dengan teknik ini.


Jadi sekarang kita masuk ke daerah abu-abu di mana moral yang diambil para Balian dan Dukun. Robin Lim menyaksikan jenis transgresif, teknik yang sangat teatrikal dan kemudian mengatakan "Saya tidak tahu itu dia adalah orang yang paling menyimpang yang pernah saya temui dalam hidup saya atau seseorang begitu dalam, di dalam hatinya, cinta dengan pasiennya bahwa ia akan melakukan apapun untuk menyembuhkan mereka. " 


Lebih mudah untuk mempertanyakan kewarasan Pogog daripada motifnya,  setelah menyaksikan, pada banyak kesempatan, Pogog menghadapi risiko kesehatan bagi dirinya sendiri untuk menyembuhkan pasien. Saya bersama Pogog ketika ia merawat seorang Amerika yang HIV positif. Sementara tidak ada pertukaran cairan tubuh, saya merasa sangat tidak nyaman dengan proses ini dan mencoba untuk menyuarakan ketakutan untuk Pogog, yang diejek dan menepis kekhawatiran saya.


Sementara saya prihatin dengan Pogog terkena infeksi bakteri atau virus, teman-teman Bali Pogog lebih peduli dengan bahaya rohani dari apa yang dia lakukan. Dalam sudut pandang Bali, jika Anda  menyingkirkan penyakit seseorang yang berasal dari karma, Anda menjalankan resiko mengambil sakit itu dan menanggung hutang karmanya. Dan jika penyakit pasien adalah perbuatan Leak, dengan "memakan" penyakit itu Pogog bisa mendatangkan murka tukang sihir itu. 


Nyoman Jiwa, seorang Balian dari Bangli, mengatakan kepada saya bahwa risiko untuk menjadi penyembuh yang besar - dan jauh lebih berbahaya dari terkena infeksi dari pasien. Pogog tidak pernah mencoba untuk menyembunyikan apa yang dia lakukan, dan semuanya di tempat terbuka. Dia menyambut orang asing, polisi, dan wartawan untuk menyaksikan karyanya, bangga dengan fakta dia tidak menyembunyikan apa pun.


Banyak pasien Pogog adalah wanita, dan istri Pogog atau  mertua selalu ada untuk memberikan bantuan, yang membantu mengurangi kesan ketidakpantasan. Dibutuhkan banyak keberanian bagi seorang wanita untuk mengunjungi Balian pria. Bali selalu berputar-putar dengan rumor "balian Kabul" - "terangsang" atau "balian porno" yang mengatakan wanita mereka dapat menyembuhkan mereka dari masalah mereka dengan imbalan seks. Pogog dituduh ini juga, yang, berdasarkan pengamatan saya sendiri, tidak adil dan tidak akurat. Pogog memang melakukan tindakan seperti yang disebutkan di atas yang dapat ditafsirkan di luar konteks sebagai yang bersifat, basis seksual. Fakta bahwa Pogog, dengan laki-laki atau dengan perempuan, selalu menikmati dirinya sendiri, tidak membantu reputasinya. Tapi lebih sering perempuan tiba dengan anggota keluarga laki-laki di ujung kaki, dan sepenuhnya menyadari apa yang sedang mereka hadapi.Banyak perempuan datang ke Pogog yang mengalami kesulitan hamil. Beberapa bersaksi kepada saya bahwa Pogog menyembuhkan mereka dari masalah mereka, dan menunjuk bayi yang sehat sebagai bukti. Saya menduga bahwa terapi kejut Pogog ini adalah sangat efektif dalam memecahkan perempuan dari kondisi budaya atau belajar perilaku yang diwujudkan dalam infertilitas. Perawatannya yang efektif pada wanita barat juga. Saya tahu dua wanita yang  "sembuh" oleh Pogog. Yang pertama tidak mengalami periode selama enam bulan. Setelah satu perawatan, ia haid pada hari berikutnya. Wanita lainnya mengalami infeksi bakteri berulang yang mengakibatkan rasa sakit internal dan keluar cairan yang tidak menyenangkan. 


Pengobatan Pogog dari perempuan yang terlibat pijat invasif, mantra, dan doa, tapi ia juga - kadang-kadang tetapi tidak selalu, dengan cepat meniup udara ke dalam vagina mereka - biasanya dalam pengawasan penuh dari suami atau keluarga. Para wanita yang berbicara dengan saya seragam bingung dengan metode ini, tetapi tidak merasa menjadi korban. Dan mereka bersyukur untuk Pogog karena kembali ke kesehatannya.


Dengan semua ini, Pogog baik-baik, membangun kembali rumah, dan memandang ke depan untuk karir yang panjang.


Saya bukan satu-satunya orang yang membaca artikel di majalah Shaman's Drum. Sebuah gelombang besar pasien asing, melambaikan artikel tersebut, akan muncul di pasar di Mengwi mencari pemandu yang bisa membawa mereka ke "Mr Pohoh". (Robin Lim salah eja nama Pogog di artikel, yang tidak menyebabkan akhir kebingungan, karena "pohoh" berarti "mangga" di Bali.) Jerry, penyembuh magang Amerika, sedang membantu upaya pemasaran dengan menciptakan menampilkan warna dan menyebarkan pamflet di Ubud yang berjudul "Meet Penyembuh Bali perdukunan". 


Dengan jenis publisitas maka tidak mengherankan bahwa Pogog mulai menarik beberapa orang aneh. Ada Jerry, yang berpikir dirinya seorang Balian dan pemangku meskipun faktanya ia tidak bisa berbahasa Indonesia, apalagi Bali atau Kawi, bahasa Sansekerta berbasis lontar Bali. Ada seorang pria Inggris, jelas sakit jiwa, yang pada satu saat  bilang dia adalah Tuhan. 


Ada beberapa pemandu wisata lokal cerdas yang membawa minibus pasangan pensiunan pada hari libur untuk pijat, dan pecandu heroin Perancis ekspatriat dari Kuta mencoba untuk mengambil obatnya, dan beberapa dari California mencari sesuatu untuk menambah bumbu kehidupan cinta mereka dengan " pengalaman tantra pijat ". Ia juga mendapat yang lebih buruk. Seorang wanita dari Amerika memimpin tur pria gay dari San Francisco - beberapa HIV positif - yang ingin diobati. Seorang kru film dari Jerman tiba dan menghabiskan seminggu dengan Pogog, membayar banyak uang untuk mendokumentasikan karyanya. Dan ada saya, ringside, dengan handicam saya.


Semua praktik ini Pogog yang terkena dampak. Saya pikir ia mulai menunjukkan perbedaan untuk pasien lokal atau barat kaya dengan penduduk desa setempat. Dia bercerita banyak tentang tur Amerika, Jerry yang mencoba untuk mengatur. Saya mendapat pengertian bahwa keluarga Pogog itu merasa tekanan juga. Ada stereotip budaya masyarakat Bali yang rentan terhadap kecemburuan, dan saya mendapat pengertian bahwa semua perhatian yang didapat Pogog bukannya tidak diperhatikan oleh para tetangganya yang secara ekonomi masih dalam perjuangan. Selain itu, Pogog sendiri berubah. Ia berbicara lebih banyak tentang uang, dan  bahkan kadang mencemoohkan pasien yang membawa sesari (penawaran yang termasuk uang) tidak cukup.


Saya bertentangan sendiri. Apakah dokumentersaya membuat pintu air terbuka  lebih lanjut? Apakah kehadiran saya membantu atau menyakiti orang ini, yang kedatnagn saya kesini sebagai teman. Jurnalis dapat bersembunyi di balik topeng "objektivitas", tapi pada titik tertentu jurnalis bisa menjadi bagian dari cerita, dan alasan tidak lagi berlaku. Ketika pertama kali datang ke Bali pada tahun 1984, saya tahu benar efek dari pariwisata dan Barat, yang bermaksud mengubah Bali menjadi taman rekreasi tanpa berpikir untuk biaya lingkungan, dan spiritual.


Saya mengucapkan selamat tinggal pada Pogog dan keluarganya dan berharap mereka selalu dalam keadaan baik. Saya telah melakukan apa yang bisa saya  lakukan, dan berharap, tidak terlalu optimis, bahwa saya bisa mengedit film sedemikian rupa untuk melakukan keadilan untuk Pogog dan setidaknya membantu memutar perdebatan dengan cara yang positif. Tetapi saya tahu bahwa kontradiksi subjek, dan kompleksitas Pogog sebagai "teks" akan membuatnya semakin sulit.


Tidak diragukan lagi perdebatan tentang orang ini dan isu seputar dukun akan bersama kami untuk beberapa waktu. Hampir tidak penting bagi Pak Pogog lagi. Pogog dilanda stroke masif pada akhir tahun 1997 yang membuat seluruh sisi kirinya lumpuh. CT scan mengungkapkan stroke perdarahan lengkap rokok, dan dokter yang merawat dia meragukan bahwa Pogog akan pernah berjalan lagi.


Awalnya, beberapa teman Barat Pogog datang ke sisinya. Jerry terbang kembali ke Indonesia dan melakukan sendiri penyembuhan energi pada Pogog, tanpa hasil jelas. Orang barat lain menaruh beberapa pertanyaan di internet berharap untuk mengumpulkan uang untuk terapi fisik Pogog, dengan hasil yang terbatas. Seperti minggu-minggu dan bulan terakhir, dan sebagai Pogog menunjukkan tanda-tanda terbatas pemulihan dan inisiatif pribadi hampir tidak ada, kunjungan tamu asing menjadi semakin sedikit. Kini telah bertahun-tahun sejak Pogog terakhir mendengar kabar dari muridnya Jerry.


Banyak orang  yang lega bahwa Pogog telah keluar dari bisnis. Gambaran dari yogi yang melakukan metode pengobatan menjilat-infeksi, mengisap penyakit  hampir tidak satupun yang menarik bagi Dinas Pariwisata Bali. Beberapa musuh Pogog  benar-benar senang dengan keadaan in. Saya bertemu pasangan asing - pekerja paruh waktu di Bali sejak 70-an - yang menganggap Pogog menjadi Leak, atau praktisi ilmu hitam. Seorang wanita dengan riwayat depresi yang mereka tahu telah mengunjungi Pogog pada suatu hari dan seminggu kemudian bunuh diri. Mereka menyalahkan Pogog untuk ini. Ketika saya memberitahu mereka bahwa Pogog sekarang benar-benar lumpuh, respon mereka "Dia pantas mendapatkan hal itu!". Mereka kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa sebagai penyembuh, Pogog merupakan seorang aborsionis yang kejam.


Aku ragu Jay Goodman akan setuju dengan penilaian itu. Jay adalah H.I.V. positif, pasien yang dirawat Pogog pada bulan Agustus 1997. Saat itu, pendamping jangka panjang Jay baru saja meninggal dan Jay baru saja didiagnosis. Dokter memberitahukan bahwa t-sel nya terlalu rendah untuk menempatkan dia di terapi standar AZT. Jay menghindari semua pengobatan tradisional dan memutuskan untuk berlibur di Bali. Dia mendengar tentang Pogog dan saya menyaksikan dan memfilmkan pengobatannya.Jay dan saya masih behubungan di telepon dan  dengan e-mail. Dia masihbenar-benar tanpa gejala, dan baik-baik saja.


Respon Pogog untuk stroke mengikuti pola pola dasar dari shock, penolakan, tawar-menawar, dan depresi. Pengunduran Diri / penerimaan, tahap akhir, masih tetap sulit dipahami. Dengan dunia medis menawarinya harapan, ia berpaling ke penyembuh tradisional dan dukun sendiri. Pada saat berbagai ia telah berkata kepada saya bahwa penyebab stroke adalah ilmu hitam yang dikirim oleh penyembuh cemburu lainnya. Teori lain adalah bahwa ia dikutuk oleh nenek moyangnya untuk merenovasi rumahnya dengan kekayaan barunya sebelum membangun kembali kuil keluarga. Dia juga mengatakan masalah berasal dari fakta bahwa ia meninggalkan Bali untuk melakukan penyembuhan - ia memiliki mimpi yang mengatakan ia kehilangan hadiah penyembuhan karena dia melakukan kesalahan menempatkan orang asing di depan masyarakat setempat sendiri. "Itulah mengapa saya di penjara ini." katanya pada saya.


Stroke mungkin nasib yang lebih buruk daripada kematian bagi seorang pria sangat fisik seperti Pogog. Terperangkap dalam penjara ini, Pogog tampaknya sekarang menjadi dalam umpan balik negatif dari rasa takut, rasa bersalah, menyalahkan tuduh-menuduh, dan kemarahan. Musuh berjemur di schedenfreud dan sekutu-sekutunya tidak mampu mengubah atau mengubah situasi. Ironi dari situasi ini adalah bahwa Pogog membutuhkan seseorang seperti dirinya yang dulu. Dia harus dibawa keluar dari ikatan ganda spiritual dan psikologis sebelum ada kesempatan untuk penyembuhan terjadi. Sungguh ironis dan bahkan tragis bahwa ia tidak dapat menerapkan penyembuhan sendiri jenius intuitif untuk dirinya sendiri. Siapa, sekarang, akan menyembuhkan sang penyembuh?

Sumber : Daniel D McGuire