Showing posts with label ARSIP NASIONAL. Show all posts
Showing posts with label ARSIP NASIONAL. Show all posts

Monday, May 28, 2012

SANG PERAKIT BOM, Yang Menjadi PAHLAWAN NASIONAL

Radio, cara Prof Johannes melawan propaganda Belanda

Keahlian Prof Herman Johannes dalam bidang teknik memang tak perlu diragukan lagi. Selain membuat bom dalam perang revolusi kemerdekaan, dosen teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) juga mahir membuat perangkat radio.
 Radio, cara Prof Johannes melawan propaganda Belanda
Dalam Doorstoot Naar Djokja, Prof Johannes, yang diberi pangkat mayor karena ikut perang gerilya, berhasil merancang pemancar radio darurat, yang mengudara dari daerah Gading, Gunung Kidul.


Sebagaimana fungsi radio dalam perang, alat komunikasi yang diciptakan sang profesor itu juga digunakan untuk melawan propaganda musuh. Pahlawan nasional ini kerap dengan sengaja memakai bahasa daerahnya, NTT, untuk melawan propaganda Belanda, bahwa hanya orang-orang Jawa yang ingin merdeka.


Dalam setiap siarannya di radio, Prof Johannes selalu mengawalinya dengan kalimat, "Au Ir Johannes, au kokolak emineme Djokja, mai neme Republik Indonesia (saya Ir Johannes, berbicara kepada saudara-saudara dari Djokja, Ibu Kota Republik Indonesia),"


Saat Agresi Militer Belanda II 1948, Prof Johannes memang belum bergelar profesor. Saat itu dia 'baru' insinyur yang menjadi dosen Sekolah Tinggi Teknik (STT), kini adalah Fakultas Teknik UGM.


Baru pada tahun 1962, dia dipilih Soekarno menjadi rektor UGM. Jabatan rektor untuk Herman kali itu menjadi sejarah karena akhirnya universitas di Yogyakarta itu mempunyai orang nomor satu yang bukan dari Jawa.  


"Itu sangat revolusioner," ujar Gorma Hutajulu, seorang aktivis mahasiswa UGM kala itu.


Hutajulu bercerita Prof Johannes sebenarnya tidak tertarik dengan politik atau pun jabatan. Keputusannya menjadi rektor adalah berkat dorongan sejumlah kalangan mahasiswa dan dosen di UGM.


Prof Johannes lahir di Rote, NTT, pada 28 Mei 1912 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Oktober 1992 pada umur 80 tahun. Hari ini, Senin (28/5), adalah seratus tahun hari lahir Prof Johannes, suami dari Annie Marie Gilbertine Amalo dan ayah dari Helmi Johannes, presenter berita televisi di VOA.[ren]
http://www.merdeka.com/
Herman Johannes
Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, sering juga ditulis sebagai Herman Yohannes atau Herman Yohanes (lahir di Rote, NTT, 28 Mei 1912 – meninggal di Yogyakarta, 17 Oktober 1992 pada umur 80 tahun) adalah cendekiawan, politikus, ilmuwan Indonesia, guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia pernah menjabat Rektor UGM (1961-1966), Koordinator Perguruan Tinggi (Koperti) tahun 1966-1979, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI (1968-1978), dan Menteri Pekerjaan Umum (1950-1951).



Karier

Herman Johannes adalah lulusan Technishce Hogeschool (THS) Bandung yang kemudian dipindahkan sebagai Sekolah Tinggi Teknik Bandung di Yogyakarta dan menjadi cikal bakal Universitas Gadjah Mada. Herman Johannes banyak mengabdikan dirinya kepada kepentingan negara dan bangsanya, terumata rakyat kecil. Hingga menjelang akhir hayatnya, ia masih melakukan penelitian yang menghasilkan kompor hemat energi dengan briket arang biomassa. Keprihatinannya akan tingginya harga minyak bumi, selalu mendorongnya untuk mencari bahan bakar alternatif yang bisa dipakai secara luas oleh masyarakat. Herman Johannes pernah meneliti kemungkinan penggunaan lamtoro gung, nipah, widuri, limbah pertanian, dan gambut sebagai bahan bakar.


Meski lebih banyak dikenal sebagai pendidik dan ilmuwan, Herman Johannes tercatat pernah berkarier di bidang militer.[1]. Tanggal 4 November 1946 Herman Johannes menerima Surat Perintah yang ditadatangani Kapten (Kavaleri) Soerjosoemarno (kemudian menjadi ayah dari Yapto Soerjosoemarno) yang mengatasnamakan Kepala Staf Umum Kementerian Keamanan Rakyat Letjen Urip Sumohardjo, yang isinya agar segera hadir dan melapor ke Markas Tertinggi Tentara di Yogyakarta. Ternyata Herman Johannes diminta membangun sebuah laboratorium persenjataan bagi TNI, karena pemerintah Indonesia saat itu sedang mengalami krisis persenjataan. Permintaan ini diterimanya dengan satu syarat, yakni jika laboratorium itu sudah bisa berdiri dan berproduksi, maka penanganannya harus dilanjutkan orang lain sebab Herman Johannes ingin melanjutkan kariernya di bidang pendidikan. Di bawah pimpinan Herman Johannes, Laboratorium Persenjataan yang terletak di bangunan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Kotabaru ini selama perang kemerdekaan berhasil memproduksi bemacam bahan peledak, seperti bom asap dan granat tangan.


Keahlian Herman Johannes sebagai fisikawan dan kimiawan ternyata berguna untuk memblokade gerak pasukan Belanda selama clash I dan II. Bulan Desember 1948, Letkol Soeharto sebagai Komandan Resimen XXII TNI yang membawahi daerah Yogyakarta meminta Herman Johannes memasang bom di jembatan kereta api Sungai Progo. Karena ia menguasai teori jembatan saat bersekolah di THS Bandung, Johannes bisa membantu pasukan Resimen XXII membom jembatan tersebut. Januari 1949, Kolonel GPH Djatikoesoemo meminta Herman Johannes bergabung dengan pasukan Akademi Militer di sektor Sub-Wehrkreise 104 Yogyakarta. Dengan markas komando di Desa Kringinan dekat Candi Kalasan, lagi-lagi Herman Johannes diminta meledakkan Jembatan Bogem yang membentang di atas Sungai Opak. Jembatan akhirnya hancur dan satu persatu jembatan antara Yogya-Solo dan Yogya-Kaliurang berhasil dihancurkan Johannes bersama para taruna Akademi Militer. Aksi gerilya ini melumpuhkan aktivitas pasukan Belanda sebab mereka harus memutar jauh mengelilingi Gunung Merapi dan Gunung Merbabu melewati Magelang dan Salatiga untuk bisa masuk ke wilayah Yogyakarta.


Pengalamannya bergerilya membuat Herman Johannes juga ikut serta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang menyerbu kota Yogyakarta di pagi buta dan bisa menduduki ibukota Republik selama enam jam. Herman Johannes juga menjadi saksi sumbangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Letnan Soesilo Soedarman dan Letnan Djajadi, Mayor Johannes pernah bertugas ke Wedi, Klaten, untuk melakukan koordinasi perjuangan. Mereka bertiga berangkat memakai seragam baru hadiah dari Sultan Yogya. Sultan pun memberi gaji seratus rupiah Oeang Republik Indonesia (ORI) setiap bulan kepada para taruna Akademi Militer.


Dalam sebuah makalahnya Herman Johannes pernah mengemukakan bahwa Sri Sultan dan Paku Alam bersama Komisi PBB menjemput para gerilyawan masuk kota Yogyakarta pada 29 Juni 1949. Pasukan Akademi Militer masuk kota dari arah Pengok dan dijemput langsung Paku Alam VIII, dan Herman Johannes kemudian harus berpisah dengan teman-teman seperjuangannya utuk kembali ke dunia pendidikan. Jasanya di dalam perang kemerdekaan membuat Herman Johannes dianugerahi Bintang Gerilya pada tahun 1958 oleh Pemerintah RI. Almarhum Herman Johannes mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Yudhoyono dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 2009.


Riwayat Hidup (Umum)

Herman Johannes menikah tahun 1955 dengan Annie Marie Gilbertine Amalo (lahir 18 Juni 1927), seorang putri raja dari wilayah Leli di Pulau Rote. 
Keluarga Prof. Herman Johannes
Pestanikah
Mereka dikaruniai empat anak: Christine yang menikah dengan Dr. Wisnu Susetyo, seorang Wakil Presiden Freeport Indonesia; Henriette yang menikah dengan Robby Mekka, seorang musikus dan dosen musik di Institut Seni Indonesia; Daniel Johannes yang bekerja di Schlumberger Information Solutions; dan Helmi Johannes, seorang presenter berita televisi di VOA. 


Herman Johannes adalah sepupu Pahlawan Nasional Dr. Wilhelmus Zakaria Johannes. Herman Johannes meninggal dunia pada 17 Oktober 1992 karena kanker prostat. Meski sebagai pemegang Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra almarhum berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, namun sesuai amanat beliau sebelum meninggal, maka keluarganya memakamkannya di Pemakaman Keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta, bersama dengan para koleganya sesama pendidik bangsa. Pada tahun 2003, nama Herman Johannes diabadikan oleh Keluarga Alumni Teknik Universitas Gadjah Mada (KATGAMA), atas prakarsa Ketua Katgama saat itu, Airlangga Hartarto, menjadi sebuah penghargaan bagi karya utama penelitian bidang ilmu dan teknologi: Herman Johannes Award. Sesuai Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 80 Tahun 1996, nama Herman Johannes diabadikan sebagai nama Taman Hutan Raya bagi kelompok hutan Sisinemi-Sanam seluas 1.900 hektare di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nama Prof Herman Johannes juga diabadikan menjadi nama jalan yang menghubungkan Kampus UGM dengan Jalan Solo dan Jalan Jenderal Sudirman di kota Yogyakarta.



Pendidikan

  • Sekolah Melayu, Baa, Rote, NTT, 1921
  • Europesche Lagere School (ELS), Kupang, NTT, 1922
  • Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Makassar, Sulawesi Selatan, 1928
  • Algemene Middelbare School (AMS), Batavia, 1931
  • Technische Hogeschool (THS), Bandung, 1934
Pekerjaan
  • Guru, Cursus tot Opleiding van Middelbare Bouwkundingen (COMB), Bandung, 1940
  • Guru, Sekolah Menengah Tinggi (SMT), Jakarta, 1942
  • Dosen Fisika, Sekolah Tinggi Kedokteran, Salemba, Jakarta, 1943
  • Lektor, Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung di Yogyakarta, 1946–1948
  • Mahaguru, STT Bandung di Yogyakarta, Juni 1948
  • Dekan Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta, 1951–1956
  • Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FIPA) UGM, Yogyakarta , 1955–1962
  • Rektor, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1961–1966[4]
  • Koordinator Perguruan Tinggi (Koperti), DIJ-Jateng, 1966–1979
  • Ketua, Regional Science and Development Center (RSDC), Yogyakarta, 1969
Karier (lain-lain)
  • Anggota, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), 1945–1946
  • Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga RI, 1950–1951
  • Anggota Executive Board UNESCO, Paris, 1954-1957
  • Anggota Dewan Nasional, 1957–1958
  • Anggota Dewan Perancang Nasional (Deppernas), 1958–1962
  • Anggota, Dewan Pertimbangan Agung RI (DPA RI), 1968–1978
  • Anggota Komisi Empat (Tim Pemberantasan Korupsi), 1970
  • Anggota, Panitia Istilah Teknik, Departemen Pekerjaan Umum RI, 1969–1975
  • Anggota, Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia (MABIM), 1972–1976
  • Anggota Pepunas Ristek, Jakarta, 1980–1985
  • Anggota Dewan Riset Nasional, 1985–1992
Karier Militer
  • Kepala Laboratorium Persenjataan, Markas Tertinggi Tentara, Yogyakarta, 1946
  • Anggota Pasukan Akademi Militer Yogyakarta, Sektor Sub-Wehrkreise 104, Desember 1948–Juni 1949
  • Dosen, Akademi Militer Yogyakarta, 1946–1948
  • Pangkat terakhir: Mayor TNI, 1949
  • Komandan Resimen Mahakarta, 1962–1965
Organisasi
  • Christen Studenten Vereniging (CSV), Bandung, 1934
  • Indonesische Studenten Vereniging (ISV), Bandung, 1934
  • Timorese Jongeren/Ketua Perkumpulan Kebangsaan Timor (PKT), Bandung, 1934
  • Anggota, Angkatan Muda Pegawai Republik Indonesia (AMPRI), Jakarta, 1945
  • Ketua, Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (GRISK), 1947
  • Partai Indonesia Raya (PIR) 1948
  • Ketua, Yayasan Hatta, 1950–1992
  • Pernah menjadi Ketua Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA), 1958-1961, 1973-1981[5]
  • Pernah menjadi Ketua Legiun Veteran Yogyakarta
  • Pernah menjadi pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Pusat
  • Anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
Penghargaan
  • Bintang Gerilya, 1958
  • Satya Lencana Perjuangan Kemerdekaan, 1961
  • Satya Lencana Wirakarya, 1971
  • Bintang Mahaputra, 1973
  • Doktor Honoris Causa, UGM, 1975
  • Bintang Legiun Veteran RI, 1981
  • Anugerah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, 1991
  • Pahlawan Nasional, 2009
Karya tulis (sebagian)
  1. Zarrah-zarrah Fisika Modern, (Jajasan Fonds Universitit Negeri Gadjah Mada, 1953)
  2. Pantjasila Seichtisar dalam Kata-Kata Bung Karno, (Universitas Gadjah Mada, 1963)
  3. Teknik Squeeze dalam Bridge, (PT Indira, Jakarta, 1970)
  4. Pengantar Matematika untuk Ekonomi, (bersama Budiono Sri Handoko; Pustaka LP3ES, Jakarta 1974)
  5. Gaya Bahasa Keilmuan, (Universitas Gadjah Mada, 1979)
  6. Membina Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa yang Ilmiah, Indah dan Lincah, (Universitas Gadjah Mada, 1980)
  7. Kamus Istilah Ilmu dan Teknologi, (PT Indira, Jakarta, 1981)
  8. Aneka Teknik Sepit, (Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1989)




Wednesday, May 2, 2012

KRI Irian : Monster Laut Kebanggaan Indonesia

KRI Irian : 
Monster Laut Kebanggaan Indonesia
KRI Irian
KRI Irian
Sebagai bangsa maritim, sudah seyogyanya kita memiliki angkatan laut yang mumpuni. Tidak hanya bicara soal kualitas dan kuantitas persenjataan, tapi sudah sepatutnya kita mempunyai arsenal persenjataan yang bisa menggetarkan nyali lawan. Hal inilah yang dahulu begitu dibanggakan bangsa Indonesia di era tahun-60an. Selain punya armada angkatan udara yang terkuat se Asia Tenggara, Angkatan Laut (TNI-AL) dikala itu memiliki kapal perang tipe penjelajah ringan buatan Uni Soviet.

Hingga kini pun belum ada satu negara di Asia Tenggara yang pernah memiliki kapal penjelajah selain Indonesia. Kapal penjelajah legendaris itu adalah KRI Irian, yang sengaja didatangkan pemerintah Indonesia dalam rangka pembebasan Irian Barat (Papua). Berikut petikan profil KRI Irian yang diperolah dari sumber wikipedia.org.
Merian kaliber 6 inchi, total ada 12 meriam dengan 4 turret
Merian kaliber 6 inchi, total ada 12 meriam dengan 4 turret

KRI Irian adalah Kapal penjelajah kelas Sverdlov dengan kode penamaan soviet Project 68-bis. Kapal jenis ini adalah Kapal Penjelajah konvensional terakhir yang dibuat untuk AL Soviet, 13 kapal diselesaikan sebelum Nikita Khrushchev menghentikan program ini karena kapal jenis ini dianggap kuno dengan munculnya rudal (peluru kendali). Kapal ini adalah versi pengembangan dari Penjelajah Kelas Chapayev.
Kapal ini dibuat di Admiralty Yard, Leningrad.Peletakan lunas pertama dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1949, kapal diluncurkan pada tanggal 17 September 1950, dan pertamakali kapal dioperasikan pada tanggal 30 Juni 1952

Pada 11 Januari 1961 Pemerintah Soviet mulai mengeluarkan instruksi kepada Central Design Bureau #17 untuk memodifikasi Ordzhonikidze supaya ideal beroperasi di daerah tropis. Modernisasi skala besar dilakukan untuk membuat kapal ini bisa beroperasi pada suhu +40°C, kelembapan 95%, dan temperatur air +30°C.
Tetapi perwakilan dari Angkatan Laut Indonesia yang kemudian mengunjungi kota Baltiisk menyatakan bahwa mereka tidak sanggup untuk menanggung biaya proyek sebesar itu. Akhirnya modernisasi dialihkan untuk instalasi genset diesel yang lebih kuat guna menggerakkan ventilator tambahan.
Dalam observasi teleskop
Dalam observasi teleskop
Pada 14 Februari 1961 Kapal ini tiba di Sevastopol dan pada 5 April 1962 kapal ini memulai ujicoba lautnya. Pada saat itu Kru Indonesia untuk kapal ini sudah terbentuk dan ada di atas kapal. Mekanik kapal ini Bapak Yatijan, di kemudian hari menjadi Kepala Departemen Teknik ALRI. Begitu juga banyak dari pelaut yang lain, di kemudian hari banyak yang mampu menduduki posisi penting.
Datang ke Surabaya pada 5 Agustus 1962 dan dinyatakan keluar dari kedinasan AL Soviet pada 24 Januari 1963. Tidak pernah Uni Soviet menjual kapal dengan bobot seberat ini kepada negara lain kecuali kepada Indonesia. ALRI yang belum pernah mempunyai armada sendiri sebelumnya, belajar untuk mengoperasikan kapal-kapal canggih dan mahal ini dengan cara trial and error / coba-coba. Pada November 1962 tercatat sebuah mesin diesel kapal selam rusak karena benturan hirolis saat naik ke permukaan, sebuah destroyer rusak dan 3 dari 6 boiler KRI Irian rusak. Suhu yang panas dan kelembapan tinggi berefek negatif terhadap armada ALRI, akibatnya banyak peralatan yang tidak bisa dioperasikan secara optimal. Di lain pihak kehadiran kapal ini membuat AL Belanda secara drastis mengurangi kehadirannya di perairan Irian Barat.
Kapal penjelajah sejenis KRI Irian, milik AL Rusia
Kapal penjelajah sejenis KRI Irian, milik AL Rusia
Pada 1964 Kapal Penjelajah ini sudah benar-benar kehilangan efisiensi operasionalnya dan diputuskan untuk mengirim KRI Irian ke Vladivostok untuk perbaikan. Pada Maret 1964 KRI Irian sampai di Pabrik Dalzavod. Para pelaut dan teknisi Soviet terkejut melihat kondisi kapal dan banyaknya perbaikan kecil yang seharusnya sudah dilakukan oleh para awak kapal ternyata tidak dilakukan. Mereka juga tertarik dengan sedikit modifikasi yang dilakukan ALRI yaitu mengubah ruang pakaian menjadi ruang ibadah (sesuatu yang tidak mungkin terjadi di negara komunis).
Setelah perbaikan selesai pada Agustus 1964 kapal menuju Surabaya dengan dikawal Destroyer AL Soviet. Setahun kemudian (1965) terjadi pergantian pemerintahan. Kekuasaan pemerintah praktis berada di tangan Soeharto. Perhatian Soeharto terhadap ALRI sangat berbeda dibandingkan Sukarno. Kapal ini dibiarkan terbengkelai di Surabaya, bahkan terkadang digunakan sebagai penjara bagi lawan politik Soeharto.

Terdapat beberapa versi tentang riwayat KRI Irian setelah peristiwa G30S.
Versi pertama menyebutkan bahwa pada tahun 1970, KRI Irian sudah sedemikian parah terbengkalai hingga mulai terisi air. Tidak ada orang yang peduli untuk menyelamatkan Kapal Penjelajah ini. Sehingga pada masa Laksamana Sudomo menjabat sebagai KSAL maka KRI Irian dibesituakan (scrap) di Taiwan pada tahun 1972 dengan alasan kekurangan komponen suku cadang kronis.
Sebagian kini ditenggelamkan untuk biota laut
Sebagian kini ditenggelamkan untuk biota laut
Versi kedua, menurut Hendro Subroto, kapal perang yang dibuat hanya empat buah ini di jual ke Jepang setelah persenjataannya dipreteli. “Padahal di Tanjung Priok masih terdapat dua gudang suku cadang. Tapi karena perawatan sebelumnya di tangani orang Rusia, selepas Gestapu, kita tidak punya teknisi lagi,” menurut Hendro.
Lapisan baja Pelindung Dalam satuan mm:
* Sabuk lapis baja utama : 100 mm
* Buritan : 32 mm
* Dek : 50 mm
* Rumah Dek : 130 mm
* Tempurung meriam utama : 175 mm
Peralatan Elektronik
* Radar:
o Radar Pencari udara Gyus-2
o Radar pencari permukaan laut Ryf
o Radar navigasi Neptun
* Sonar:
o Tamir-5N dipasang di hull
* Lain-lain:
o Machta ECM (electronic Counter Measures)
Senjata artileri KRI Irian
Senjata utama dari KRI Irian adalah buah 4 turret, dimana setiap turret berisi 3 meriam berukuran 6 inchi. Sehingga total ada 12 meriam kaliber 6 inchi di geladaknya.[2]
Pemandanagn lain dari RI Irian.
  • * 10 Tabung Torpedo anti-Kapal selam kaliber 533 mm
  • * 12 Buah Kanon tipe 57 cal B-38 Kaliber 15.2 cm (6 depan, 6 Belakang)
  • * 12 Buah Kanon ganda tipe 56 cal Model 1934 6 (twin) SM-5-1 mounts Kaliber 10 cm
  • * 32 Buah Kanon multi fungsi kaliber 3,7 cm
  • * 4 Buah triple gun Mk5-bis turrets kaliber 20 mm (untuk keperluan anti-Serangan udara)

Tenaga penggerak
Sebagai tenaga penggerak, KRI Irian mengandalkan 2 buah turbin uap TB-72 yang mendapat pasokan uap dari 6 buah Pendidih KV-68 dan disalurkan melalui 2 buah shaft.

Tenaga total yang tersedia adalah sekitar 110.000 hp sampai 122.000 hp pada kedua shaft, tenaga ini mampu membuat kapal 13.600 ton ini mencapai kecepatan maksimum 32,5 knot. Sedangkan jarak maksimum yang bisa ditempuh adalah 9000 mil laut dengan kecepatan konstan 18 knot.[2]
Jumlah awak kapal

Kapal ini dapat memuat 1.270 awak kapal, termasuk 60 orang perwira, 75 perwira pengawas, 154 perwira pertama.

Sunday, April 29, 2012

Kisah Nyata, SAS (Pasukan Elite Inggris) bertempur dengan RPKAD / Kopassus


Kisah Nyata, SAS (Pasukan Elite Inggris) bertempur dengan RPKAD / Kopassus


Kisah ini terjadi pada bulan April tahun 1965, ketika Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Lokasi pertempuran di desa Mapu, Long Bawan, perbatasan Kalimantan Barat dan Sabah.


Saat itu batalion 2 RPKAD (sekarang Grup 2 Kopassus) baru saja terbentuk. Batalion baru ini segera dikirim untuk misi khusus ke Kalimantan Barat. Mereka mendarat di Pontianak bulan Februari 1965, dan segera setelah itu mereka berjalan kaki menuju posnya di Balai Karangan yang jaraknya puluhan kilometer dari lapangan terbang.


Pos Balai Karangan merupakan pos terdepan TNI yang sebelum kedatangan RPKAD dijaga oleh infanteri dari batalion asal Jatim. Sekitar 1 km di depan pos Balai Karangan adalah pos terdepan tentara Inggris di desa Mapu yang dijaga oleh satu kompi British paratrooper dan beberapa orang SAS. Menyerang pos inilah yang menjadi misi khusus batalion RPKAD. Pos Mapu tersebut sering digunakan sebagai transit bagi personel SAS yang akan menyusup ke wilayah Indonesia. TNI ingin hal ini dihentikan dengan langsung melenyapkan pos tersebut.


os Inggris di Mapu tersebut terletak di puncak sebuah bukit kecil yang dikelilingi lembah, sehingga pos ini sangat mudah diamati dari jarak jauh. Selain itu, pos tersebut juga cukup jauh dari pasukan induknya yang kira-kira terpisah sejauh 32 km.
Pasukan RPKAD yang baru datang segera mempersiapkan setiap detail untuk melakukan penyerangan. Prajurit RPKAD yang terpilih kemudian ditugaskan untuk melakukan misi reconnaisance (pengintaian) untuk memastikan kondisi medan secara lebih jelas. Mereka juga memetakan pos tersebut dengan detail sehingga bisa menjadi panduan bagi penyusunan strategi penyerangan, termasuk detail jalur keluar masuknya.


Tugas recon ini sangat berbahaya, mengingat SAS juga secara rutin melakukan pengamatan ke posisi-posisi TNI. Jika kedua recon tersebut berpapasan tanpa sengaja, bisa jadi akan terjadi kotak tembak yang akan membuyarkan rencana penyerangan. Oleh karena itu, recon RPKAD sangat berhati-hati dalam menjalankan misinya. Bahkan mereka menggunakan seragam milik prajurit zeni TNI AD untuk mengelabui musuh apabila terjadi kemungkinan mereka tertangkap atau tertembak dalam misi recon tersebut. 


Setelah sebulan mempersiapkan penyerangan, pada 25 April 1965 gladi bersih dilakukan. Dari tiga kompi RPKAD yang ada di pos Balai Karangan. Komandan batalion, Mayor Sri Tamigen, akhirnya memutuskan hanya kompi B (Ben Hur) yang akan melakukan penyerangan. Sementara 2 kompi lainnya tetap berada di wilayah Indonesia untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu. 


Dalam penyerangan ini, kompi B diharuskan membawa persenjataan lengkap. Mulai dari senapan serbu AK-47, senapan mesin Bren, peluncur roket buatan Yugoslavia, dan Bangalore torpedoes, mainan terbaru RPKAD waktu itu, yang biasanya digunakan untuk menyingkirkan kawat berduri atau ranjau. 


Selesai mengatur perbekalan, Ben Hur mulai bergerak melintasi perbatasan selepas Maghrib. Karena sangat berhati-hati, mereka baru sampai di desa Mapu pada pukul 02.00 dini hari. Setelah itu mereka segera mengatur posisi seperti strategi yang telah disusun dan dilatih sebelumnya. 


Pos Mapu berbentuk lingkaran yang dibagi ke dalam empat bagian yang masing-masing terdapat sarang senapan mesin. Perimeter luar dilindungi oleh kawat berduri, punji, dan ranjau claymore. Satu-satunya cara untuk merebut pos ini adalah dengan merangsek masuk kedalam perimeter tersebut dan bertarung jarak dekat. Menghujani pos ini dengan peluru dari luar perimeter tidak akan menghasilkan apa-apa karena didalam pos tersedia lubang-ubang perlindungan yang sangat kuat. 


Beruntung, malam itu hujan turun dengan deras seolah alam merestui penyerangan tersebut, karena bunyi hujan menyamarkan langkah kaki dan gerakan puluhan prajurit komando RPKAD yang mengatur posisi di sekitar pos tersebut.
Setelah dibagi ke dalam tiga kelompok, prajurit komando RPKAD berpencar ke tiga arah yang telah ditetapkan. Peleton pertama akan menjadi pembuka serangan sekaligus penarik perhatian. Kedua peleton lainnya akan bergerak dari samping / rusuk dan akan menjebol perimeter dengan bangalore torpedoes agar para prajurit RPKAD bisa masuk ke dalam dan melakukan close combat. 


Pada jam 0430 saat yang dinanti-nanti tiba, peleton tengah membuka serangan dengan menembakkan senapan mesin Bren ke posisi pertahanan musuh. Segera setelah itu, dua peleton lainnya meledakkan bangalore torpedoes mereka dan terbukalah perimeter di kedua rusuk pertahanan pos tersebut. Puluhan prajurit RPKAD dengan gagah berani masuk menerjang ke dalam pos untuk mencari musuh. 


Prajurit Inggris berada pada posisi yang tidak menguntungkan karena tidak siap dan sangat terkejut karena mereka tidak menduga akan diserang pada jarak dekat. Apalagi saat itu sebagian rekan mereka sedang keluar dari pos untuk berpatroli. Yang tersisa adalah 34 prajurit Inggris. Hal ini memang telah dipelajari recon RPKAD, bahwa ada hari-hari tertentu dimana 2/3 kekuatan di pos tersebut keluar untuk melakukan patroli atau misi lainnya. Dan hari itulah yang dipilih untuk hari penyerangan. 


Dengan susah payah, akhirnya ke-34 orang tersebut berhasil menyusun pertahanan. Beberapa prajurit RPKAD yang sudah masuk ke pos harus melakukan pertempuran jarak dekat yang menegangkan. Dua prajurit RPKAD terkena tembakan dan gugur. Namun rekan mereka terus merangsek masuk dan berhasil menewaskan beberapa tentara Inggris dan melukai sebagian besar lainnya. Tentara Inggris yang tersisa hanya bisa bertahan sampai peluru terakhir mereka habis karena mereka telah terkepung. 


Diantara yang terbunuh dalam pertempuran jarak dekat yang brutal tersebut adalah seorang anggota SAS. Ini adalah korban SAS pertama yang tewas ditangan tentara dari ASEAN. Namun sayangnya Inggris membantah hal ini. Bahkan dalam buku karangan Peter Harclerode berjudul "Para! Fifty Years of the Parachute Regiment halaman 261 pemerintah Inggris malah mengklaim mereka berhasil menewaskan 300 prajurit RPKAD dalam pertempuran brutal tersebut. Lucunya klaim pemerintah Inggris ini kemudian dibantah sendiri oleh penulis buku tersebut di halaman 265, ia menyebutkan bahwa casualties RPKAD hanya 2 orang. Secara logis memang angka 300 tidak mungkin karena pasukan yang menyerang hanya satu kompi. Pemerintah Inggris melakukan hal tersebut untuk menutupi rasa malu mereka karena dipecundangi tentara dari dunia ketiga, bahkan salah satu prajurit dari kesatuan terbaik mereka ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut. 


Pertempuran itu sendiri berakhir saat matahari mulai meninggi. Prajurit RPKAD yang sudah menguasai sepenuhnya pos Mapu segera menyingkir karena mereka mengetahui pasukan Inggris yang berpatroli sudah kembali beserta bala bantuan Inggris yang diturunkan dari helikopter. Mereka tidak sempat mengambil tawanan karena dikhawatirkan akan menghambat gerak laju mereka. 
Sekembali di pos Balai Karangan, kompi Ben Hur disambut dengan suka cita oleh rekan-rekannya. Para prajurit yang terlibat dalam pertempuran mendapatkan promosi kenaikan pangkat luar biasa. Mereka juga diberi hadiah pemotongan masa tugas dan diberi kehormatan berbaris di depan Presiden Soekarno pada upacara peringatan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1965

sumber : garudamiliter