Thursday, June 7, 2012

Transgender dalam Masyarakat Islam

Transgender dalam Masyarakat Islam

Iran masuk media internasional karena pemerintah negara Islam Syiah itu menyediakan dana khusus untuk operasi kaum transgender. Menurut para ulama Iran, Allah tidak menganggap transgender dosa. Indonesia adalah negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Pengalaman kelompok transgendernya berbeda.


Hartoyo, aktivis Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender LGBT Indonesia, mengkritik sikap Iran ini. Baginya yang terjadi adalah negara memaksa para transgender untuk dioperasi, menjadi wanita atau pria. “Negara masuk ranah pribadi, rakyatnya dipaksa memilih jenis kelamin laki-laki atau perempuan,” demikian Hartoyo.


Ada unsur paksaan, karena tidak semua waria mau ganti kelamin. Hartoyo menganggap ini pelanggaran hak asasi manusia.


Menyalahi kodrat
“Sebenarnya kami diterima secara kultural dalam masyarakat, tapi posisi kami semakin hari semakin rentan oleh ulah polisi moral yang dengan doktrin agama mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas waria,” demikian Luluk Azyra yang aktif dalam Sanggar Waria Remaja.


Ia setuju dengan kritik terhadap negara yang mewajibkan ganti kelamin, ini adalah pelanggaran hak asasi yang bersangkutan.


Seharusnya Islam toleran terhadap transgender. Tapi dengan penafsiran yang berbeda dan salah, serta fundamentalisme yang semakin tinggi, teman-teman waria semakin dianggap salah karena menyalahi kodrat. Mereka harus dibinasakan.


“Itulah ucapan-ucapan kasar yang digembar-gemborkan oleh ormas-ormas Islam fundamentalis, padahal Islam adalah agama yang melindungi kami,” demikian Luluk.


Show off
Di Indonesia tidak ada dana khusus pemerintah, jadi tidak ada paksaan. Memang kalau dibandingkan dengan kaum gay atau lesbian, waria lebih bisa diterima masyarakat di Indonesia. “Mereka lebih show off,” tutur Hartoyo. Namun para transgender paling didiskriminasi, karena penampilannya tidak bisa menutupi identitasnya.


“Kalau gay masih bisa menutup diri dengan penampilan seperti laki-laki, para transgender terbuka, mereka sering mendapat diskriminasi. Padahal di Indonesia kita jumpai keragaman seksualitas, gay, lesbian dan transgender diakui keberadaannya dalam masyarakat tradisional, misalnya Bugis, yang mengenal fenomena bissu.


Bissu
Sirtjo Koolhof adalah peneliti Belanda yang mendalami posisi kaum bissu dalam masyarakat Bugis. “Bissu adalah semacam imam. Mereka laki-laki yang berperan sebagai wanita. Tugas mereka penting dalam masyarakat tradisional Bugis. Mereka bertanggung jawab atas harta pusaka para raja Bugis.”


Para bissu menjadi perantara antara surga dan dunia. Mereka memiliki posisi terhormat. Itulah sebabnya para transgender dalam masyarakat Bugis menamakan diri mereka bissu, padahal mereka tidak memiliki jabatan ritual ini.


Dengan posisi terhormat para bissu, tidaklah berarti mereka bebas diskriminasi. Para pejabat agama dan pemerintah kadang kala mengadakan razzia di kalangan para bissu kalau mereka merasa didesak oleh kelompok agama, yang menganggap transgender melanggar moral.


Dimanfaatkan parpol
Sesepuh pergerakan LGBT Indonesia, Dédé Oetomo, melihat sikap kalangan Islam terhadap transgender di Indonesia lebih bervariasi. Ada pesantren waria, pengajian waria, tapi ada juga transgender yang dimanfaatkan oleh partai politik untuk berkampanye.


“Waria diterima terbatas, dalam praktek sehari-hari sikap ini berarti asalkan jangan anak sendiri yang transgender,” demikian Dédé.


“Kalau ormas fundamentalis berkuasa dan Indonesia bukan negara bhineka lagi, karena dijadikan seperti negara Arab, maka saya khawatir kami akan dibumihanguskan dan tidak ada lagi,” ujar Luluk Azyra dari Sanggar Waria Remaja.


“Diskriminasi dan kekerasan akan dilegalkan,” jelasnya lagi. Karena itu dia bertekad berjuang menentangnya.



Dari Hati Seorang Transgender
 
Zoya Amirin Psikolog Seksual

Bagi kebanyakan orang pertanyaan mengenai jenis kelamin; laki-laki atau perempuan adalah pertanyaan yang sangat mudah dan biasa saja. Tidak mengandung emosi apa-apa atau netral. Kita mungkin terkadang mempertanyakan masalah sikap atau perilaku feminin atau maskulin yang kita tunjukkan. 

Misalnya cara berpakaian, cara berjalan atau berbincang-bincang, namun secara pasti kita paham kita adalah seorang laki-laki atau perempuan karena secara sederhana kita memiliki alat kelamin yang jelas memberi kepastian jenis kelamin kita. Bagi seorang interseksual atau transgender pertanyaan sesederhana apa jenis kelamin Anda, merupakan hal yang sangat menyakitkan. 

Seorang interseksual lebih sering dikenal dengan sebutan hermaphrodite. Secara biologis genital seorang interseksual tidak jelas antara laki-laki atau perempuan. Individu ini biasanya dilahirkan dengan kromosom seks, eksternal genital, dan internal sistem reproduksi yang tidak standar untuk seorang disebut perempuan atau laki-laki. 

Hal tersebut disebabkan karena masalah kromosom atau variasi hormonal pada saat ia dilahirkan. Seorang anak bisa saja lahir dengan penis yang tidak berkembang sebagaimana mestinya atau klitoris yang gagal membesar.

Transeksual-Transgender adalah individu yang identitas gendernya tidak kompatibel dengan anatomi seksualnya. Seorang transgender/transeksual adalah individu yang kami para Psikiater dan Psikolog Klinis diagnosa sebagai ganguan GID (Gender Identity Disorder) sesuai standar penilaian dalam buku suci kami DSM (Diagnostic Statistical Manual for Mental Disorder). 

Seorang transgender/transeksual merupakan individu yang merasa terjebak di dalam tubuh yang salah. Jika ia memiliki genital laki-laki maka ia merasa seharusnya dilahirkan dalam tubuh dengan kelamin perempuan. Demikian sebaliknya dengan individu yang memiliki genital perempuan, maka ia merasa terjebak dalam tubuh perempuan karena ia ingin mengekpresikan diri, menjalankan peran gender, dan beraktivitas selayaknya seorang laki-laki normal.

Seorang individu usia akhir 20-an, sejak lahir diberi ‘pengakuan’ atau ‘label’ perempuan oleh entah bidan, entah tenaga medis di desa, entah dukun beranak setempat. Orang tua memberi dia nama Siti Maimunah (maaf jika saya salah mengeja nama). 

Siti tumbuh penuh keresahan dalam dirinya, seperti seorang perempuan yang mengunakan pakaian yang tidak nyaman, sepatu yang kurang fit, atau gaya yang kurang feminin, secara umum sejak kecil segala ‘ketidaknyamanan’ tersebut  bukan sesederhana anak perempuan dengan ‘bad hair day’ atau sedang salah me-matching-kan pakaian dengan sepatunya, tetapi membuat ia merasa disonan sebagai seorang ‘perempuan’. Puluhan tahun hidupnya ia merasa ada yang salah tetapi tidak paham apa yang sebenarnya terjadi.

Memasuki masa pubertas (dalam pemahaman saya) Siti merasa sangat tertekan, hampir semua teman-teman perempuannya bercerita mengenai menstruasi dan miniset yang akan digunakan, disonansi yang dirasakan Siti adalah; pertama ia tidak merasa relate pada kondisi biologis yang diceritakan teman-temannya, justru ia agak merasa terangsang pada kisah tersebut. 

Penantian seorang Siti terhadap menstruasi mungkin seperti daerah yang tidak pernah hujan, kering, dan hanya bisa berharap mujizat. Bertambah disonansi-disonansi dalam benaknya terhadap rasa ketertarikan yang tinggi dengan sesama jenis, membuat dirinya merasa makin ‘aneh’ dikategorikan sebagai homoseksual yang lesbian. 

Pemberian dan pemahaman mengenai orientasi seksual tersebut tidak menghakhiri disonansi Siti. Karena ‘label’ homoseksual tidak menjelaskan perasaan terjebak di tubuh yang salah saat itu. Homoseksual baik gay maupun lesbian, hanya merupakan orientasi seksual, bukan penyimpangan, tapi preferensi seksual yang dimiliki oleh sekelompok kecil individu atau minoritas. 

Seorang gay sadar dengan maskulinitas dirinya, pemahaman peran gendernya, demikian dengan jenis kelaminnya. Demikian juga dengan seorang lesbian yang nyaman dengan segala peran femininnya dalam masyarakat, menerima tubuh perempuannya, hanya saja preferensi seksualnya pada sesama jenis.

Pencerahan apa yang melanda seorang ‘gadis’ desa mencari jati diri yang sesungguhnya. Ia pergi ke Surabaya memeriksakan hormonnya, kromosomnya, secara umum semua fungsi alat reproduksi seksualnya. Hasilnya: ia memiliki kromosom X,Y dengan hormon testosteron yang berfungsi baik dalam sistem reproduksi seksualnya, artinya dirinya seorang laki-laki tulen. 

Lantas mengapa dia dahulu diberi ‘label’ perempuan? Ternyata pada saat perkembangan genital ketika ia masih dalam kandungan, batang penisnya tidak tumbuh sempurna, sehingga dengan berdasarkan kondisi yang terlihat saat itu ia ‘disebut’ perempuan.

Berjuanglah Siti terhadap identitas diri dan gendernya. Ia berhasil memenangkan sidang dengan relatif mudah karena dukungan tim dokter spesialis dan psikolog klinis sebagai saksi ahli yang menyatakan dirinya seorang laki-laki, dan sejak saat itu ia mengganti nama dan seluruh kartu identitas dan ijazah menjadi Joy. Mas Joy.

Sebuah akhir yang bahagiakah? Masih belum sempurna… Individu dengan diagnosis GID perlu konsultasi lebih lanjut untuk mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi secara kuat dengan identitas gender barunya, pengalaman hidup, dan mengatasi memahami disonansi-disonansinya. 

Dan dalam wawancara melalui telepon yang saya lakukan dengan mas Joy yang ditayangkan live pagi hari oleh salah satu TV swasta nasional tersebut, harapan mas Joy adalah belas kasihan pemerintah untuk membantu pembiayaan SRS (Sex Reassignment Surgery), agar alat kelaminnya/ alat reproduksi seksual eksternalnya sempurna keberfungsiannya sebagaimana alat reproduksi internalnya.

Satu langkah lagi, pemerintah atau siapa pun Anda mungkin bisa tergerak membantu Mas Joy terlepas dari impitan tekanan puluhan tahun mengenai identitas dirinya. Bukan sebuah penyakit menular, bukan sampah masyarakat, bukan mencari sensasi, hanya seorang individu yang ingin bahagia menerima dan menjadi dirinya apa adanya.

Suara hati @ZoyaAmirin / www.zoyaamirin.com

0 comments:

Post a Comment