Thursday, May 10, 2012

Cabo (Wanita Tuna Susila) Pelacuran Tempo Dulu


Cabo (Wanita Tuna Susila)
Pelacuran Tempo Dulu
Menurut sejarah, pelacuran di Jakarta sudah dikenal sejak awal datangnya VOC. Dalam sejarah Betawi tidak dikenal pekerjaan serupa baik pada masa pra Islam maupun di masa Islam. Orang Betawi sendiri pada awalnya tidak mengenal istilah pelacur yang kemudian dilunakkan sebutannya jadi WTS (Wanita Tuna Susila) dan kini lebih diperlunak lagi jadi PSK (Pekerja Seks Komersial). Orang Betawi menyebutnya dengan cabo yang merupakan adaptasi dan bahasa Cina caibo dan maler berasal dari bahasa Portugis atau dengan sebutan lain kupu-kupu malam.
encyclopedia/39a85bf3039b3a6397e1d6244a2f5351
Cabo, istilah Betawi untuk Wanita Tuna Susila
Sejak dulu tempat operasi para cabo selalu dekat dengan kawasan niaga dan perhotelan, seperti Mangga Besar yang berdekatan Glodok sekarang. Tempat konsentrasi pelacuran pertama di Batavia adalah Macao Po yang kala itu berdekatan dengan hotel-hotel di depan Stasion Beos (Jakarta Kota). Lokalisasi pelacuran ini memang untuk kalangan atas. Karena para pelacurnya didatangkan dari Macao oleh jaringan germo Portugis dan Cina. Di Macao Po konsumennya adalah para petinggi VOC yang dikenal korup dan para taipan, yaitu orang berduit keturunan Cina.


Di dekat Macao Po, masih di kawasan Glodok terdapat pelacuran kelas rendah Gang Mangga. Karenanya kalau sakit 'perempuan' kala itu disebut 'sakit mangga', yang kemudian dikenal sebagai raja singa atau sipilis. Di abad ke-19, sipilis termasuk penyakit yang sulit disembuhkan karena saat itu belum ditemukan antibiotik. Kompleks pelacuran ini kemudian tersaingi rumah-rumah bordil yang didirikan orang Cina yang disebut soehian. Lokalisasi ini ditutup pada awal abad ke-20 karena sering terjadi keributan. Tapi kata soehian tidak pernah hilang dalam dialek Betawi untuk menunjukkan kata sial: "Dasar Suwean" (sialan).
Setelah penyerahan kedaulatan, kompleks pelacuran terdapat di berbagai tempat, seperti Gang Hauber di Petojo yang terdiri dari Gang Hauber I, II, dan III yang oleh Walikota Sudiro untuk mengubah citranya pada pertengahan 1950-an diganti Gang Sadar, walaupun sampai awal 1980-an masih beroperasi. 


Perlahan, Gang Mangga berubah jadi pemukiman penduduk, dan namanya pun lenyap. Kemudian, seluruh jalan yang membentang dari Jassenburg sampai ke pintu air Goenoeng Sari dinamakan Mangga Doea Weg. Soehian kemudian berganti menjadi kompleks WTS yang tersebar di Gang Kaligot, Sawah Besar dan Gang Hauber, Petojo. Perempuan penjaja berkeliaran di sekitar Bioskop Alhambra sampai Jembatan Ciliwung (di depan Gajah Mada Plaza sekarang).


Di Sawah Besar terdapat kompleks pelacuran Kaligot, mengambil nama sandiwara Prancis Aligot yang pada 1930an manggung di Batavia. Sedang di daerah Senen terdapat kompleks pelacuran Planet, nama yang diambil menandai peristiwa terjadinya persaingan antara AS dan Uni Soviet dalam meluncurkan sputnik ke luar angkasa di kurun 1960-an. Di Planet Senen, pelacuran kelas bawah ini berlangsung di gerbong-gerbong kereta api antara Stasiun Senen hingga Jl. Tanah Nyonya (Gunung Sahari) yang panjangnya beberapa ratus meter. Selain itu, praktek prostitusi ini berlangsung dengan ngamar di rumah-rumah kardus dekat rel kereta api. Tempat pelacuran yang setiap harinya didatangi ribuan orang ini dibersihkan pada masa Gubernur Ali Sadikin (1971) dan pekerja seksnya dipindahkan ke lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara.


0 comments:

Post a Comment