Sistem Jaringan Kekerabatan Orang Jawa
di Daerah Pedesaan
Fungsi kekerabatan orang jawa di daerah pedesaan sudah mulai mengalami banyak perubahan. Dari yang semula seorang penduduk desa jawa yang hanya berhubungan dengan keluarga intinya ( terutama berfungsi dalam sector-sektor kehidupan sekitar berbagai aktivitas rumah tangga), sudah memperluas dengan keluarga inti dari anak wanita yang menetap secara uxorilokal, keluarga inti anak pria yang menetap secara virilokal, atau keluarga-keluarga inti anak pria dan wanita yang menetap secara utrolokal, keluarga ini merupakan kesatuan-kesatuan social yang benar-benar berdiri sendiri.
Dengan bertambahnya kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan social-budaya, maka keluarga ini dalam memenuhi kebutuhannya tidak hanya berdasarkan kekerabatan, tetapi mulai merasa tergantung dengan pranata-pranata lain, seperti pranata sambatan (untuk perbaikan rumah), dalam bidang pendidikan berupa sekolah-sekolah, dan dalam bidang pertanian seperti grojogan, bawon, dan sebagainya. Apabila dibandingkan dengan jaman sekarang, adanya pranata-pranata seperti sambatan grojogan, bawon, dan sebagainya tersebut sudah mulai menghilang karena seiring dengan perkembangan jaman, dalam masyarakat sudah tersedia berbagai jasa yang dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tersebut.
Fungsi kekerabatan di jawa memiliki fungsi memberikan semacam identitas kepada warganya, yang dapat meninggikan kedudukan social serta gengsinya, yang menentukan hak serta kewajibannya mengenai warisan nenek moyangnya, serta pembagian warisannya kepada keturunannya.
System pembagian warisan, berusaha agar harta tersebut jatuh dalam keluarga inti yang terbatas saja. Namun, saat ini ada beberapa pranata lain yang dapat memberikan identitas social, kedudukan, dan gengsi kepada warganya.
Orang-orang di daerah Bagalen dan Negarigung membedakan kelompok kekerabatan bilateral menjadi 2 macam, yaitu,alur waris atau trah, dan kaluwarga, sanak sedherek (kindred) atau golongan yang terutama di daerah Bagelen.
Alur waris merupakan kelompok kekerabatan ambilineal yang berpusat pada satu nenek moyang . keluarga alur waris memiliki kewajiban-kewajiban terhadap nenek moyangnya, seperti mengurus makan sampai pembiayaan slametan.
Warga alur waris yang aktif biasanya dapat menyatukan jumlah kerabat yang besar maupun kecil untuk saling menjaga tali silaturahmi. Alur waris ini, tidak berlaku di daerah saya (kudus, jawa tengah).
Berkaitan dengan kewajiban-kewajiban terhadap kepengurusan makam nenek moyang sampai pembiayaan terhadap slmetan-slametan tidak dilakukan berdasarkan alur waris, tetapi hal itu dilakukan secara sukarela oleh para keluarga yang masih memiliki hubungan atau ikatan saudara.
Sanak sedherek merupakan kelompok kekerabatan yang terikat hubungan keturunan atau perkawinan. Setiap sanak sedherek (kindred) memakai nama dari keluarga yang merupakan pusatnya, dan harus ikut menyumbang atau berpartisipasi dalam rangkaian upacara sekitar lingkaran hidup dan dalam berbagai upacara serta perayaan lain. Pada jaman dahulu, kepala keluarga sanak sedherek merupakan orang yang berpengaruh besar baik secara tradisional maupun karena perkembangan social politik yang baru. Kepala dari sanak sedherek tersebut biasanya merupakan orang yang mengambil inisiatif untuk mengadakan aktivitas kindred, seperti pertemuan keluarga pada hari lebaran..
Kelompok sanak sedherek secara kolateral meliputi semua kerabat hingga derajat kedua, yaitu misanan. Sesungguhnya, misanan merupakan keluarga jauh, tapi pada kenyataannya orang jawa menganggap bahwa misanan merupakan masih tergolong sebagai keluarga dekat. Sehingga system sanak sedherek ini tidak terlalu jelas. Hal ini berbeda dengan system kekerabatan di daerah saya. Di desa saya tidak ada system sanak sedherek seperti yang telah di jabarkan diatas.
Yang ada hanyalah suatu keluarga besar yang diantara mereka masih memiliki hubungan keturunan atau perkawinan. Dalam hal ini tidak ada seorang kepala yang mempunyai keharusan untuk mengambil inisiatif dalam mengadakan suatu acara-acara keluarga seperti pertemuan keluarga pada hari lebaran. Acara-acara keluarga seperti pertemuan keluaga besar pada hari lebaran atau biasa di sebut dengan halal bihalal, pada umumnya diadakan secara bergilir tiap tahun dari keluarga satu ke keluarga yang lain, tanpa adanya inisiatif dari seorang kepala karena dalam system kekerabatan di daerah saya ini memang tidak adanya seorang kepala.
Dalam pembagian warisan, banyak terjadi beda pendapat. Menurut islam, pembagian warisan dibagi menurut perbandingan 1 : 2. sedangkan menurut adat jawa, pembagian berdasarkan asas segendhong sepikul.
Pembagian warisan yang menimbulkan banyak perbedan pendapat ini, juga terjadi di daerah saya (Kudus, Jawa Tengah). Di daerah saya ini, terutama dalam keluarga saya, warisan dibagikan berdasarkan agama islam, tanah misalnya, dibagikan dengan perbandingan 1 ; 2. anak laki-laki memperoleh satu bagian, dan anak perempuan memperoleh separoh dari bagian yang diperoleh dari anak laki-laki.
Namun, tidak semua keluarga membagikan warisan dengan system seperti tersebut, ada juga yang membagikan warisan dengan asas segendhong sepikul, antara anak laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama, seperti pembagian warisan seperti adat jawa. Dalam melaksanakan pemindahan hak atas harta itu untuk dipakai oleh anak-anaknya, para orang tua tentunya sudah memiliki pemikiran yang matang, sehingga dalam melaksanakan pemindahan hak atas harta kekayaan tersebut sudah mereka pikirkan secara matang, jadi semua anak mendapat bagian yang sama dan perlakuan yang adil dalam suatu suasana kerukunan.
Selain itu, ada jua tanah jabatan, yaitu ketika menyerahkan upeti kepada penguasa da juga melakukan kerja bakti, sebagai upah gain kerja bakti, kuli menerima sebuah tanah jabatan.
Warisan berupa tanah jabatan biasanya bias diwariskan oleh ahli warisnya. Misalnya di yogyakarta , luas tanah jabatan itu sedemikan kecilnya,sehingga bagi para kuli yang bersangkutan hidup menjadi sangat berat. Lagi pula, tanah yang diberikan kepada kuli itu pun hanya sebagian saja yang diberikan sendiri. Sebagian diserahkan kepada penguasa dan para pegawai yang menarik pajak bumi. Sesudah perang dunia II tugas-tugas kuli yang berat tidak ada lagi diberbagai daerah, yang antara lain disebabkan karena dihapuskannya pajak tanah dalam tahun 1956, dan dikuranginya waktu kerja bakti bagi pemerintah.
di Daerah Pedesaan
Fungsi kekerabatan orang jawa di daerah pedesaan sudah mulai mengalami banyak perubahan. Dari yang semula seorang penduduk desa jawa yang hanya berhubungan dengan keluarga intinya ( terutama berfungsi dalam sector-sektor kehidupan sekitar berbagai aktivitas rumah tangga), sudah memperluas dengan keluarga inti dari anak wanita yang menetap secara uxorilokal, keluarga inti anak pria yang menetap secara virilokal, atau keluarga-keluarga inti anak pria dan wanita yang menetap secara utrolokal, keluarga ini merupakan kesatuan-kesatuan social yang benar-benar berdiri sendiri.
Dengan bertambahnya kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan social-budaya, maka keluarga ini dalam memenuhi kebutuhannya tidak hanya berdasarkan kekerabatan, tetapi mulai merasa tergantung dengan pranata-pranata lain, seperti pranata sambatan (untuk perbaikan rumah), dalam bidang pendidikan berupa sekolah-sekolah, dan dalam bidang pertanian seperti grojogan, bawon, dan sebagainya. Apabila dibandingkan dengan jaman sekarang, adanya pranata-pranata seperti sambatan grojogan, bawon, dan sebagainya tersebut sudah mulai menghilang karena seiring dengan perkembangan jaman, dalam masyarakat sudah tersedia berbagai jasa yang dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tersebut.
Fungsi kekerabatan di jawa memiliki fungsi memberikan semacam identitas kepada warganya, yang dapat meninggikan kedudukan social serta gengsinya, yang menentukan hak serta kewajibannya mengenai warisan nenek moyangnya, serta pembagian warisannya kepada keturunannya.
System pembagian warisan, berusaha agar harta tersebut jatuh dalam keluarga inti yang terbatas saja. Namun, saat ini ada beberapa pranata lain yang dapat memberikan identitas social, kedudukan, dan gengsi kepada warganya.
Orang-orang di daerah Bagalen dan Negarigung membedakan kelompok kekerabatan bilateral menjadi 2 macam, yaitu,alur waris atau trah, dan kaluwarga, sanak sedherek (kindred) atau golongan yang terutama di daerah Bagelen.
Alur waris merupakan kelompok kekerabatan ambilineal yang berpusat pada satu nenek moyang . keluarga alur waris memiliki kewajiban-kewajiban terhadap nenek moyangnya, seperti mengurus makan sampai pembiayaan slametan.
Warga alur waris yang aktif biasanya dapat menyatukan jumlah kerabat yang besar maupun kecil untuk saling menjaga tali silaturahmi. Alur waris ini, tidak berlaku di daerah saya (kudus, jawa tengah).
Berkaitan dengan kewajiban-kewajiban terhadap kepengurusan makam nenek moyang sampai pembiayaan terhadap slmetan-slametan tidak dilakukan berdasarkan alur waris, tetapi hal itu dilakukan secara sukarela oleh para keluarga yang masih memiliki hubungan atau ikatan saudara.
Sanak sedherek merupakan kelompok kekerabatan yang terikat hubungan keturunan atau perkawinan. Setiap sanak sedherek (kindred) memakai nama dari keluarga yang merupakan pusatnya, dan harus ikut menyumbang atau berpartisipasi dalam rangkaian upacara sekitar lingkaran hidup dan dalam berbagai upacara serta perayaan lain. Pada jaman dahulu, kepala keluarga sanak sedherek merupakan orang yang berpengaruh besar baik secara tradisional maupun karena perkembangan social politik yang baru. Kepala dari sanak sedherek tersebut biasanya merupakan orang yang mengambil inisiatif untuk mengadakan aktivitas kindred, seperti pertemuan keluarga pada hari lebaran..
Kelompok sanak sedherek secara kolateral meliputi semua kerabat hingga derajat kedua, yaitu misanan. Sesungguhnya, misanan merupakan keluarga jauh, tapi pada kenyataannya orang jawa menganggap bahwa misanan merupakan masih tergolong sebagai keluarga dekat. Sehingga system sanak sedherek ini tidak terlalu jelas. Hal ini berbeda dengan system kekerabatan di daerah saya. Di desa saya tidak ada system sanak sedherek seperti yang telah di jabarkan diatas.
Yang ada hanyalah suatu keluarga besar yang diantara mereka masih memiliki hubungan keturunan atau perkawinan. Dalam hal ini tidak ada seorang kepala yang mempunyai keharusan untuk mengambil inisiatif dalam mengadakan suatu acara-acara keluarga seperti pertemuan keluarga pada hari lebaran. Acara-acara keluarga seperti pertemuan keluaga besar pada hari lebaran atau biasa di sebut dengan halal bihalal, pada umumnya diadakan secara bergilir tiap tahun dari keluarga satu ke keluarga yang lain, tanpa adanya inisiatif dari seorang kepala karena dalam system kekerabatan di daerah saya ini memang tidak adanya seorang kepala.
Dalam pembagian warisan, banyak terjadi beda pendapat. Menurut islam, pembagian warisan dibagi menurut perbandingan 1 : 2. sedangkan menurut adat jawa, pembagian berdasarkan asas segendhong sepikul.
Pembagian warisan yang menimbulkan banyak perbedan pendapat ini, juga terjadi di daerah saya (Kudus, Jawa Tengah). Di daerah saya ini, terutama dalam keluarga saya, warisan dibagikan berdasarkan agama islam, tanah misalnya, dibagikan dengan perbandingan 1 ; 2. anak laki-laki memperoleh satu bagian, dan anak perempuan memperoleh separoh dari bagian yang diperoleh dari anak laki-laki.
Namun, tidak semua keluarga membagikan warisan dengan system seperti tersebut, ada juga yang membagikan warisan dengan asas segendhong sepikul, antara anak laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama, seperti pembagian warisan seperti adat jawa. Dalam melaksanakan pemindahan hak atas harta itu untuk dipakai oleh anak-anaknya, para orang tua tentunya sudah memiliki pemikiran yang matang, sehingga dalam melaksanakan pemindahan hak atas harta kekayaan tersebut sudah mereka pikirkan secara matang, jadi semua anak mendapat bagian yang sama dan perlakuan yang adil dalam suatu suasana kerukunan.
Selain itu, ada jua tanah jabatan, yaitu ketika menyerahkan upeti kepada penguasa da juga melakukan kerja bakti, sebagai upah gain kerja bakti, kuli menerima sebuah tanah jabatan.
Warisan berupa tanah jabatan biasanya bias diwariskan oleh ahli warisnya. Misalnya di yogyakarta , luas tanah jabatan itu sedemikan kecilnya,sehingga bagi para kuli yang bersangkutan hidup menjadi sangat berat. Lagi pula, tanah yang diberikan kepada kuli itu pun hanya sebagian saja yang diberikan sendiri. Sebagian diserahkan kepada penguasa dan para pegawai yang menarik pajak bumi. Sesudah perang dunia II tugas-tugas kuli yang berat tidak ada lagi diberbagai daerah, yang antara lain disebabkan karena dihapuskannya pajak tanah dalam tahun 1956, dan dikuranginya waktu kerja bakti bagi pemerintah.
0 comments:
Post a Comment